BUKAN suatu kebetulan ketika sebuah stasiun televisi swasta nasional memutarkan film Taken (2008) beberapa hari setelah pembantaian di kantor majalah satire Perancis, Charlie Hebdo, 7 Januari lalu.
Film yang diproduseri dan ditulis naskahnya Luc Besson, yang juga seorang sutradara Perancis brilian, memancing ingatan untuk merekonstruksi hubungan antar-peradaban, terutama Barat dan Islam. Saya memiliki tiga sketsa yang saling berhubungan: film
Kesadaran pertama dipicu oleh
Siapa para mafia itu? Di dalam film itu digambarkan sebagai penyelundup manusia dan mafia bisnis seksual dari Tropoja, Albania Utara. Tropoja sebuah wilayah yang dekat dengan Kosovo. Beberapa literatur menyebutkan komunitas Tropoja mayoritas beragama Islam, tetapi terkenal karena brutal dan kasar sejak dinasti Ottoman. Mereka jadi para bandit (
Pada
Meskipun film ini tidak secara vulgar berbicara perang antaragama, narasinya jelas menunjukkan perbenturan dua peradaban dan seolah-olah menjadi problem agama. Sebuah catatan sinopsis menyebutkan, film ini menguras perasaan tentang politik identitas keagamaan dalam dua kutub: kehendak untuk membalas dendam yang menggelegak dari gangster Tropoja yang Muslim dan upaya mempertahankan diri dengan membunuh musuh-musuhnya secara dingin dari seorang Amerika yang Kristen.
Saya tak ingin menambahkan kesimpulan sentimentil bahwa akhirnya Liam Neesson masuk Islam ketika pembuatan film ini (karena nyatanya film ini memberikan pesan kontradiktif dan bukan persuasif). Bukan itu yang prinsipil. Yang lebih penting dilihat: peradaban global kita tidak berjalan sedewasa pengetahuan modern tentang humanisme universal, rasionalitas agama, dan etika global lainnya. Saat ini ada banyak kejahatan global merupakan reaksi akibat insuler pengetahuan etik tak berjalan. Kasus pembantaian para pekerja di majalah
Namun, parade kekejian lain tak kurang berlalu lalang di depan mata tanpa reaksi dan pembelaan. Tragedi
Pembantaian
Namun, jika masuk lebih detail, apakah pembantai di
Menurut Omid Safi, profesor kajian Islam Amerika Serikat keturunan Iran di Duke University, kasus
Bagi Safi,
Tindakan Kouachi bersaudara membunuh bukan saja "kafir", tetapi juga seorang polisi, Ahmed Merabet, yang memohon tidak ditembak, dan seorang editor majalah
Namun, di sini, di Aceh, kasus ini mengalami pembalikan situasi. Pemberitaan yang kini populer tentang seorang dosen UIN Arraniry, Dr Rosnida Sari, yang membawa mahasiswanya ke gereja untuk belajar tentang jender malah berujung pada penistaan atas keyakinannya sebagai Muslim, ancaman pengusiran, dan pembunuhan. Fenomena ini adalah bagian dari kesesatan pikir tentang agama Islam karena ikut memberikan gambaran buruk tentang agama Kristen.
Tindakan Rosnida Sari adalah profan semata, yaitu keinginan berdialog dengan semangat toleransi bersama komunitas non-Muslim yang minoritas di Aceh. Sayangnya, ia serta-merta dituduh sesat dan bersalah berat. Kepala Dinas Syariat Islam Aceh Syahrial Abbas telah menyatakan tindakan Rosnida tidak bertentangan dengan Islam (BBC Indonesia, 9 Januari 2015). Namun, hukuman telah merajamnya. Ia dihukum oleh persangkaan massa yang tak otentik memahami Islam. Ia terjebak pada pusaran peradaban yang belum dewasa memahami perbedaan.
Jika hal ini dibiarkan, akan tumbuh benalu dalam pengetahuan sosial dan akan termanifestasi jadi aksi bawah sadar masyarakat yang bisa merugikan hubungan antarwarga (atau umat). Bahkan, kini terjadi penggiringan opini bahwa itu akibat produk sesat belajar Islam di Barat. Juga muncul kesimpulan bahwa ini sebentuk pembalasan atas kesewenang-wenangan pengetahuan Barat kepada umat Islam. Di Aceh jangan harap mereka berjaya!
Bagaimana mengurai kekacauan pikir seperti ini? Tidak ada cara lain kecuali membersihkan lorong gelap peradaban kita yang terlalu lama terendam lumpur persangkaan karena tak kunjung membangun dialog dan perjumpaan atas perbedaan secara cerdas, arif, dan bijaksana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar