Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 14 Januari 2015

Lubang Hitam Peradaban (TEUKU KEMAL FASYA)

BUKAN suatu kebetulan ketika sebuah stasiun televisi swasta nasional memutarkan film Taken (2008) beberapa hari setelah pembantaian di kantor majalah satire Perancis, Charlie Hebdo, 7 Januari lalu.

Film yang diproduseri dan ditulis naskahnya Luc Besson, yang juga seorang sutradara Perancis brilian, memancing ingatan untuk merekonstruksi hubungan antar-peradaban, terutama Barat dan Islam. Saya memiliki tiga sketsa yang saling berhubungan: film Taken, kasus Charlie Hebdo, dan kasus Rosnida Sari, seorang dosen UIN Arraniry Aceh yang kini sedang menjadi fenomena intoleransi baru.

Distorsi visual dan literal

Kesadaran pertama dipicu oleh Taken. Film ini  sesungguhnya film seram yang kaya problem kultural. Kisahnya tentang upaya seorang pensiunan intelijen Amerika (CIA), Bryan Mills (Liam Neesson), membebaskan anaknya yang diculik sekelompok mafia imigran di Paris, Perancis.

 Siapa para mafia itu? Di dalam film itu digambarkan sebagai penyelundup manusia dan mafia bisnis seksual dari Tropoja, Albania Utara. Tropoja sebuah wilayah yang dekat dengan Kosovo. Beberapa literatur menyebutkan komunitas Tropoja mayoritas beragama Islam, tetapi terkenal karena brutal dan kasar sejak dinasti Ottoman. Mereka jadi para bandit (Hajduk) yang biasa melakukan tindakan melawan hukum (Richard W Slatta,Bandits and Social Rural History, 1991).

 Pada Taken, problem etnisitas dan kultural agama tak terlalu diombang-ambingkan. Namun, di sekuelnya, Taken 2 (2012), ironisme muncul lebih kontras dan verbal. VisualisasiTaken 2 dimulai upacara penguburan yang diiringi suara azan. Mereka mengambil settingfilm ini di Turki yang penuh mesjid dan simbol Islam. Di film ini diceritakan tentang upaya balas dendam kepada Bryan Mills. Di kalangan masyarakat Tropoja (juga di banyak masyarakat), balas dendam adalah tindakan suci untuk menegakkan kehormatan keluarga.

 Meskipun film ini tidak secara vulgar berbicara perang antaragama, narasinya jelas menunjukkan perbenturan dua peradaban dan seolah-olah menjadi problem agama. Sebuah catatan sinopsis menyebutkan, film ini menguras perasaan tentang politik identitas keagamaan dalam dua kutub: kehendak untuk membalas dendam yang menggelegak dari gangster Tropoja yang Muslim dan upaya mempertahankan diri dengan membunuh musuh-musuhnya secara dingin dari seorang Amerika yang Kristen.

 Saya tak ingin menambahkan kesimpulan sentimentil bahwa akhirnya Liam Neesson masuk Islam ketika pembuatan film ini (karena nyatanya film ini memberikan pesan kontradiktif dan bukan persuasif). Bukan itu yang prinsipil.  Yang lebih penting dilihat: peradaban global kita tidak berjalan sedewasa pengetahuan modern tentang humanisme universal, rasionalitas agama, dan etika global lainnya.  Saat ini ada banyak kejahatan global merupakan reaksi akibat insuler pengetahuan etik tak berjalan. Kasus pembantaian para pekerja di majalah Charlie Hebdo adalah tindakan keji. Tidak diragukan hal itu.

 Namun, parade kekejian lain tak kurang berlalu lalang di depan mata tanpa reaksi dan pembelaan. Tragedi Charlie Hebdo tak lebih keji dibandingkan pembantaian 132 murid-murid di sebuah sekolah di Peshawar, Pakistan, atau pembunuhan dan pelecehan seksual masyarakat sipil oleh tentara sekutu NATO (AS) di Afganistan dan Irak selama masa pendudukan. Produksi film stereotip sepertiBlack Hawk Down (2001) dan The Interview(2014) juga semakin merumitkan Barat (terutama AS) melihat cermin dirinya secara jernih.

 Pembantaian Charlie Hebdo adalah tragedi kemanusiaan, tetapi juga reaksi atas kebebasan berpendapat yang keliru. Perancis meneguhkan diri sebagai salah satu negara Eropa yang mempromosikan nilai- nilai demokrasi, kebebasan (liberty), persamaan (egality), dan persaudaraan (fraternity), tetapi visualisasi Nabi Muhammad dan literasi buruk Islam juga bukan karya jurnalistik ideal. Ekspresi kebebasan berpendapat mengalami kecelakaan ketika menyakiti perasaan kelompok lain.

 Namun, jika masuk lebih detail, apakah pembantai di Charlie Hebdo para mujahid? Sebuah publikasi 10 tahun lalu tentang Cherif Kouachi menggambarkan siapa sesungguhnya dia. Kouachi punya rekaman kriminalitas terkait aksi bom bunuh diri. Ia keturunan Aljazair dan hampir seumur hidup tinggal di Perancis yang sekuler. Ia pemabuk, pengisap ganja, tidur bersama pacarnya, dan bekerja sebagai pengantar pizza (Mark Houser, French Muslims battle internal, external strife, 29 Mei 2005). Bagaimana kita memercayai dari sosok ini ada kesejatian nilai Islam yang didapatkan melalui pendidikan yang benar?

 Menurut Omid Safi, profesor kajian Islam Amerika Serikat keturunan Iran di Duke University,  kasus Charlie Hebdo adalah kesalahpahaman Barat memahami "peradaban lain". Kesalahpahaman itu terjadi karena tidak cukup banyak pesan suci agama Islam yang sampai. Mereka memahami Islam atau peradaban non-Barat dari realitas sosial-ekonomi-politik minoritas Muslim di negara-negara Barat. Realitas itu sering memperlihatkan wajah buruk komunitas Muslim dibanding pesan normatif Islam yang penuh kebajikan.

 Bagi Safi, Charlie Hebdo harus dibaca sebagai akumulasi kefrustrasian dari ketidakadilan terhadap warga minoritas. Jika Perancis menyebutkan kartun-kartun satir agama sebagai ekspresi kebebasan dibandingkan dengan blasphemy (pemberitaan yang menghina keyakinan agama), seharusnya kebebasan itu juga mempertimbangkan psikologi keberatan kelompok Muslim minoritas imigran yang rata-rata pengetahuannya terbatas tentang motif "kebebasan ganjil" itu.

 Tindakan Kouachi bersaudara membunuh bukan saja "kafir", tetapi juga seorang polisi, Ahmed Merabet, yang memohon tidak ditembak, dan seorang editor majalahMoustapha Ourrad—keduanya Muslim—menunjukkan ini sama sekali bukan masalah Barat versus Islam, tetapi problem kewargaan di sebuah negara Eropa (Omid Safi, "9 Points to Ponder on the Paris Shooting and Charlie Hebdo", www.onbeing.org, 8 Januari 2015).

Kesesatan pikir

Namun, di sini, di Aceh, kasus ini mengalami pembalikan situasi. Pemberitaan yang kini populer tentang seorang dosen UIN Arraniry, Dr Rosnida Sari, yang membawa mahasiswanya ke gereja untuk belajar tentang jender malah berujung pada penistaan atas keyakinannya sebagai Muslim, ancaman pengusiran, dan pembunuhan. Fenomena ini adalah bagian dari kesesatan pikir tentang agama Islam karena ikut memberikan gambaran buruk tentang agama Kristen.

 Tindakan Rosnida Sari adalah profan semata, yaitu keinginan berdialog dengan semangat toleransi bersama komunitas non-Muslim yang minoritas di Aceh. Sayangnya, ia serta-merta dituduh sesat dan bersalah berat. Kepala Dinas Syariat Islam Aceh Syahrial Abbas telah menyatakan tindakan Rosnida tidak bertentangan dengan Islam (BBC Indonesia, 9 Januari 2015). Namun, hukuman telah merajamnya. Ia dihukum oleh persangkaan massa yang tak otentik memahami Islam. Ia terjebak pada pusaran peradaban yang belum dewasa memahami perbedaan.

 Jika hal ini dibiarkan, akan tumbuh benalu dalam pengetahuan sosial dan akan termanifestasi jadi aksi bawah sadar masyarakat yang bisa merugikan hubungan antarwarga (atau umat). Bahkan, kini terjadi penggiringan opini bahwa itu akibat produk sesat belajar Islam di Barat. Juga muncul kesimpulan bahwa ini sebentuk pembalasan atas kesewenang-wenangan pengetahuan Barat kepada umat Islam. Di Aceh jangan harap mereka berjaya!

 Bagaimana mengurai kekacauan pikir seperti ini? Tidak ada cara lain kecuali membersihkan lorong gelap peradaban kita yang terlalu lama terendam lumpur persangkaan karena tak kunjung membangun dialog dan perjumpaan atas perbedaan secara cerdas, arif, dan bijaksana.

 TEUKU KEMAL FASYA
Dosen Antropologi Universitas Malikussaleh, Aceh; Aktivis Jaringan Antariman Indonesia

Sumber: ‎http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000011365343 

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger