Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 26 Januari 2015

Revolusi Mental Guru (MOHAMMAD ABDUHZEN)

BUKANLAH bermaksud latah berbicara revolusi mental guru terkait implementasi ide Presiden Joko Widodo yang kian ramai dibicarakan: revolusi mental bangsa.  Guru adalah faktor berpengaruh besar terhadap hasil pembelajaran—John Hattie (2003) dari Selandia Baru mengatakan, pengaruh guru 30 persen—sehingga untuk menyukseskan revolusi mental melalui pendidikan,  mentalitas guru perlu diubah terlebih dahulu.  

Mentalitas guru memang harus diubah, ada ataupun tidak ada gagasan revolusi mental dari Presiden Joko Widodo. Mengapa?

Tiga alasan

Paling tidak ada tiga alasan. Pertama, hasil riset Profesor Beeby awal 1970-an (bukunya terbit tahun 1975; Pendidikan Indonesia) menyimpulkan bahwa persoalan kronis pendidikan kita (baca: Indonesia) di antaranya praktik kelas yang membosankan. Guru-guru mengajar dengan latar belakang pengetahuan dan keterampilan metodik yang minimal sehingga aktivitas kelas bagaikan ritual. Sedikit sekali, kata Beeby, sekolah di Indonesia membantu menumbuhkan potensi seorang murid. Dan, pengaruh sekolah yang menjemukan serta sangat tidak imajinatif tersebut tetap terasa ketika seseorang menjadi dewasa dan atau menjadi pemimpin di masyarakat.

Kemampuan guru dewasa ini tidak lebih baik. Berbagai penilaian yang dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) menunjukkan kompetensi pedagogi dan profesional guru rata-rata rendah. Hasil uji kompetensi awal (UKA) 2012 memperlihatkan hanya 42,25 (skala 100) yang dinyatakan kompeten; sementara nilai uji kompetensi guru (UKG) 2014 rata-rata 47,6. Keadaan ini akan terus berlangsung apabila tidak ditangani secara tepat dan serius.

Kedua, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 1 ayat (1)—untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya—menuntut perubahan mental guru sebagai pusat dan sumber utama pembelajaran ke murid sebagai pusat dengan pembelajaran siswa aktif.

Ketiga, profesionalisme guru yang seyogianya meningkatkan mutu pendidikan nasional melalui peningkatan mutu guru, telah mengalami simplikasi makna sebagai "sertifikasi" yang substansinya sebatas tunjangan profesi atau populer disebut sebagai "tunjangan sertifikasi". Pada sisi lain atas nama profesionalisme, guru dituntut melakukan tugas secara spesialisasi yang ditandai linieritas sehingga terjadi pula pereduksian peran dan tanggung jawab guru sebatas tugas mengajar mata pelajaran yang diampunya.

Walhasil, berdasarkan hasil riset Bank Dunia 2009-2011, upaya profesionalisme guru dengan sertifikasi portofolio selama ini tidak berimplikasi pada peningkatan kualitas guru dan kualitas hasil belajar murid. Kegiatan itu hanya memperbaiki ekonomi guru dan meningkatkan minat menjadi guru, tetapi tidak berbanding lurus dengan peningkatan profesionalisme dan atau kinerja guru.

Selain itu, profesionalisme guru mulai menunjukkan dampak buruk berupa gejala mental materialistis dan spesialistis yang perlu diantisipasi. Mentalitas guru perlu dikukuhkan agar tetap dalam paradigma pengabdian.

Membangun mentalitas guru

Secara sederhana, perbaikan kinerja guru dapat dilakukan melalui pendekatan motif dan insentif. Pemerintah telah berusaha memberikan insentif melalui tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok bagi guru tersertifikasi. Namun, pemerintah sejauh ini belum mengelola motif secara efektif. Pendidikan dan
Latihan Profesi Guru (PLPG) dan UKA/UKG yang mengawali atau mengikuti proses sertifikasi portofolio lebih bersifat formalitas dan tidak didesain secara cermat.

Kegiatan profesionalisme guru lebih berkutat pada hal administratif, tidak diproses agar mengikat guru secara batin. Profesionalisme guru mendatang, senyampang pemerintah mengusung ide revolusi mental, harus menyentuh aspek mental dalam beragam dimensinya.

Pertama, membangun dan memperkuat paradigma pengabdian. Gerakan profesionalisme guru hendaknya selain memberikan kemahiran dan kesejahteraan, juga harus memperkuat hubungan logis antara pilihan profesi dan dasar-dasar religius yang ia yakini. Berkarier sebagai guru agar diniatkan sebagai pemenuhan atas tujuan penciptaan, yaitu pengabdian pada Tuhan melalui kerja kemanusiaan.

Guru, kata Al-Ghazali (Ihya' Ulumuddin, 1979:77), berperan menjalankan tugas kekhalifahan, menyempurnakan hati dan jiwa makhluk termulia di muka bumi, yakni manusia. Jadi, profesi guru adalah tugas profetik. Faktor religiositas jika dikelola dengan benar dapat menjadi sumber motivasi positif yang tiada kering bagi guru Indonesia. Tanpa pemaknaan ukhrawi, kiranya para guru sukar menjawab pertanyaan, "Mengapa saya harus jadi guru yang baik?"

Kedua, membangun mental profesional, yaitu bekerja sekeras-kerasnya untuk menjadi yang terbaik, memberi yang terbaik, sehingga berhak mendapatkan imbalan sebaik-baiknya. Jiwa profesional harus dibangkitkan dari dalam diri dan tidak dapat digantungkan semata pada upaya eksternal dari pihak lain seperti dengan insentif atau dengan pelatihan yang dipenuhi ceramah.

Pelatihan motivasi dan kinerja guru harus secara dinamis menumbuhkan rasa tanggung jawab melalui pelibatan peserta berdasarkan prinsip-prinsip andragogi. Setiap pelatihan harus dirancang sebagai titik tolak atau mengecas kembali spirit guru agar melakukan penyempurnaan mandiri yang sinambung. Guru—meminjam ungkapan Iwan Pranoto, Guru Besar ITB—harus dibuat kasmaran dengan tugasnya.

Bangun suasana dialogis

Ketiga, mengubah pola pikir guru tentang murid dan pembelajaran. Murid adalah manusia multipotensi yang perlu ditumbuhkembangkan secara sehat dan dinamis melalui suasana dialogis. Menciptakan suasana terbuka dalam pembelajaran sangat penting agar anak tumbuh dan mekar menurut natur dan kulturnya. Oleh sebab itu, kata Ki Hadjar Dewantara, guru harusngemong seperti tecermin dalam prinsip ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. Untuk itu mental guru harus diubah dari aktor jadi fasilitator yang mampu mengubah kelas pasif dan duduk manis menjadi aktif serta dialogis.

Keempat, mendorong guru agar bekerja berdasarkan teori dan empirik serta peraturan dan etika profesi yang berlaku. Dengan profesionalisme, menurut Tilaar (2012), status guru mengalami demitologisasi. Mitos guru sebagai manusia paripurna, pekerja sosial yang tak mengharapkan imbalan, dan tabu berpolitik mengalami rasionalisasi. Sikap dan perilaku guru harus didasarkan pada prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan kaidah-kaidah moral.

Oleh sebab itu, UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen mewajibkan setiap guru menjadi anggota organisasi profesi yang berfungsi untuk memajukan profesi dan memperjuangkan haknya. Maka, pemerintah dan/atau pemerintah daerah seharusnya bermitra dan memfasilitasi organisasi profesi guru.

Kelima, menyadarkan guru agar menghindari efek buruk profesionalisme, yaitu sikap materialistis dan spesialistis berlebihan. Guru seyogianya secara moral bertanggung jawab atas pembimbingan murid tidak hanya dalam mata pelajaran yang diampunya, tetapi juga meliputi seluruh perkembangan dan perilaku murid. Untuk itu, sesuai dengan paradigma pengabdian, guru harus memiliki jiwa penolong sehingga tidak setiap gerak geriknya menuntut pembayaran.

Akhirulkalam, revolusi mental diperlukan agar guru kita mulia, sebagaimana larik lagu "Pahlawan Tanpa Jasa" yang kini sudah tak populer lagi itu: "... bagai pelita dalam kegelapan, embun penyejuk dalam kehausan...."

Mohammad Abduhzen
Direktur Institute for Education Reform Universitas Paramadina, Jakarta; Ketua Litbang PB PGRI

Sumber:  http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000011522440 ‎

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger