Jawaban serius itu tecermin dari nilai anggaran militer untuk tahun 2015. Pemerintah Perdana Menteri Shinzo Abe kemarin menyetujui anggaran pertahanan sejumlah 42 miliar dollar AS, atau setara Rp 530,3 triliun, atau naik 2,8 persen dibandingkan tahun anggaran sebelumnya (2014).

Tentu bukan tanpa alasan kalau Jepang—yang sekarang termasuk satu dari 10 adidaya militer dunia: Amerika Serikat, Rusia, Tiongkok, India, Inggris, Perancis, Jerman, Turki, Korea Selatan, dan terakhir Jepang, menurut Global Firepower, didasarkan pada berbagai faktor, termasuk jumlah tentara, akses ke aset strategis, tetapi tidak dihitung kemampuan nuklirnya—meningkatkan belanja militernya.

Salah satu pertimbangannya tentu adalah perkembangan dan peningkatan kemampuan Tiongkok. Memang, anggaran militer Jepang masih di bawah Tiongkok. Maret tahun lalu, Tiongkok meningkatkan anggaran militernya 12 persen menjadi 132 miliar dollar AS atau yang kedua terbesar setelah AS. Berarti, anggaran militer Jepang sepertiga dari anggaran militer Tiongkok.

Akan tetapi, kalau tidak meningkatkan anggarannya, Jepang akan semakin tertinggal dari Tiongkok. Ini akan menempatkan "Negeri Matahari Terbit" itu pada posisi sulit, terutama karena masih adanya sengketa menyangkut Kepulauan Senkaku yang oleh Tiongkok disebut Kepulauan Diaoyu.

Selain Tiongkok, "kenakalan" Korea Utara yang kerap kali bermain-main dengan melakukan uji coba rudal juga menjadi pertimbangan Jepang menaikkan anggaran pertahanannya. Hubungan Jepang dan Korea Selatan, meski sama-sama sekutu AS, juga terganjal oleh catatan masa lalu, yang sepertinya sulit dihapuskan.

Dengan terjadinya pergeseran kekuatan dari Barat ke Asia Timur, yang pasti akan memiliki implikasi strategis terhadap hubungan di antara negara-negara besar dan pola perimbangan kekuatan di kawasan, Jepang tidak bisa tinggal diam. Pergeseran pusat gravitasi ekonomi dan politik dunia ke Asia Timur akan menjadikan kawasan ini paling dinamis. Selain itu, juga akan jadi tempat interaksi kepentingan negara-negara kawasan dan luar kawasan.

Kiranya dalam konteks seperti itulah Pemerintah Jepang di bawah pimpinan PM Shinzo Abe membuat kebijakan baru menyangkut anggaran pertahanan. Sebab, Jepang harus mengamankan kepentingan ekonomi.

Apabila semua asumsi itu benar, kita, Indonesia, hanya berharap bahwa "pacuan peningkatan anggaran militer antara Jepang dan Tiongkok" tidak akan menyeret kawasan ke situasi yang merugikan semua pihak, atau sekurang-kurangnya memunculkan ketegangan baru yang mengganggu stabilitas kawasan.

Sumber: ‎http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000011400540