Pertanyaan itu kita ajukan di sini sebagai pembuka ulasan singkat ini, berkaitan dengan penyerangan bersenjata terhadap kantor majalah Charlie Hebdo, di Paris, Perancis, kemarin. Penyerangan yang dilakukan tiga orang itu menewaskan 12 orang dan melukai 11 orang, di antaranya kritis.

Apa pun alasannya, penyerangan bersenjata yang menewaskan sejumlah orang tersebut telah melukai rasa kemanusiaan. Barangkali, tidak hanya sekadar melukai rasa dan nilai kemanusiaan, tetapi bahkan mencampakkan nilai-nilai dan rasa kemanusiaan.

Itulah sebabnya, penyerangan bersenjata itu segera memunculkan reaksi dan komentar yang bernada menyesalkan, mengecam, prihatin, dan juga ungkapan perlawanan dari para pemimpin negara dari berbagai penjuru dunia, para pemimpin agama, berbagai lapisan masyarakat, termasuk Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Ban Ki-moon.

Tidak sedikit yang berpendapat bahwa serangan bersenjata ke kantor majalah satir—yang dikenal dengan kartun-kartunnya yang tajam, keras, keterlaluan, bahkan tidak jarang menyakitkan—itu sebagai penyerangan terhadap kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi, yang merupakan batu sendi demokrasi. Bahkan, ada yang berpendapat sebagai serangan terhadap peradaban.

Memang, kemudian muncul pertanyaan, di mana batas antara kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi dan provokasi? Sebab, oleh karena alasan latar belakang kultur, ideologi, dan pandangan hidup, yang oleh satu pihak dianggap sebagai bentuk ekspresi kebebasan berpendapat, sebagai perwujudan dari nilai-nilai demokrasi, tetapi oleh pihak lain dianggap sebagai provokasi yang menyakitkan.

Benar bahwa pers adalah salah satu pilar demokrasi. Tanpa ada kebebasan pers tidak ada demokrasi. Namun, pemahaman, definisi kebebasan tersebut berbeda-beda di banyak negara. Bagi negara-negara Barat, mungkin, kebebasan adalah kebebasan; sementara kita di Indonesia menambahkan dengan kata "bertanggung jawab", jadi kebebasan yang bertanggung jawab.

Terlepas dari segala perdebatan dan beda pendapat itu, satu hal yang kita harapkan bahwa pihak berwenang di Perancis segera dapat mengungkap latar belakang penyerangan bersenjata yang menelan korban jiwa tersebut. Dengan demikian, semua menjadi terang benderang sehingga tidak menimbulkan berbagai ragam spekulasi yang bisa-bisa memperkeruh suasana, dan memancing tindakan-tindakan yang juga tidak bertanggung jawab.

Sebab, bukan mustahil tindakan semacam itu, yang oleh Presiden Perancis Francois Hollande disebut sebagai "tindakan terorisme", bisa muncul dan terjadi di mana-mana.


Sumber: ‎http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000011268706