Dalam kehidupan ini, manusia senantiasa dihadapkan pada rangkaian konflik, entah di dalam dirinya maupun di luar dirinya. Konflik selalu mengandaikan adanya pertentangan dua hal yang substansinya berseberangan. Ada dua entitas yang amat kontradiktif. Bagi manusia modern di mana pun, pemecahannya sudah jelas, yakni Anda dibebaskan memilih mana yang benar dalam kontradiksi itu.
Kalau Anda menentukan salah satu sebagai benar, baik, dan sepantasnya, lawannya dengan sendirinya salah, jahat, dan tidak layak. Di sini ada prinsip dominasi, mengalahkan, mematikan terhadap pihak yang kita nilai tidak benar dan tidak baik. Kebenaran itu selalu ada di pihak yang dominan, yang kuat, yang menang, sedangkan yang dikalahkan harus mengikuti yang menang.
Itulah adat dunia sekarang ini, individu dan kelompok berupaya mendominasi kebenaran dengan kemenangan, entah dengan pikiran, kekuatan, kekerasan. Kebebasan memilih mana yang benar dan mana yang salah mengakibatkan adanya kebenaran tunggal: pilihan saya adalah kebenaran saya yang harus saya perjuangkan mati-matian.
Itulah sebabnya, konflik terus terjadi dan semakin hebat karena yang kalah akan berusaha bangkit mengalahkan kebenaran yang sedang berkuasa. Ambisi terbesar manusia adalah pemegang kebenaran di seluruh muka bumi. Jokowi adalah produk manusia modern-global yang dibesarkan di daerah pedalaman Surakarta. Alam pikiran primordial Nusantara diam-diam, disadari atau tidak disadari, masih hidup dalam masyarakat yang membesarkannya.
Dalam alam pikiran ini, prinsip dominasi memang dijalankan juga, hanya tak sampai melenyapkan kebebasan memilih kebenaran yang dikalahkan. Prinsipnya, saya selamat dan Anda juga selamat. Saya bebas memilih, tetapi Anda juga bebas memilih kebenaran. Raja-raja Nusantara sejak dahulu kala saling menyerang dan mengalahkan, tetapi tidak pernah terjadi penjajahan kebenaran tunggal di dalamnya. Setiap negara taklukan tetap melanjutkan cara hidup masing-masing dengan kebenarannya sendiri. Hanya setiap kali harus datang lapor kepada raja penguasa di pusat negara bahwa mereka masih mengakui raja pemenang.
Majapahit atau Sriwijaya tidak pernah memaksakan cara hidup, atau kebenaran, yang berlaku di pusat untuk diseragamkan di seluruh wilayah yang pernah dipaksa mengakui kekuasaannya.
Begitu pula suku-suku primordial Indonesia yang punya tradisi "perang suku" tidak pernah ada ambisi untuk melenyapkan suku "musuh"-nya (yang sebenarnya pasangan hidupnya). Prinsipnya, aku hidup selamat, engkau juga hidup selamat, meskipun konflik tetap dipelihara.
Dalam konflik Polri versus KPK, tampak solusi jalan tengah ini, yakni tidak membenarkan yang satu dan menyalahkan yang lain, tidak menyalahkan calon Kapolri dan tidak menyalahkan KPK. Nilai kebenaran calon Kapolri sebenarnya lebih unggul karena dibenarkan oleh Presiden dan dibenarkan oleh DPR, sedangkan nilai kebenaran KPK hanya milik KPK sendiri.
Mengikuti logika harmoni primordial, jalan tengahnya adalah tetap melantik calon Kapolri karena disetujui wakil-wakil rakyat dan tetap membiarkan KPK mengusut ketidaklayakannya yang dituduh sebagai koruptor.
Masalah menjadi berat untuk mengambil jalan tengah karena kebenaran KPK didukung massa relawan pendukung Jokowi waktu pemilihan presiden dahulu, sehingga kedudukan menjadi 2-2. Menghadapi dilema ini, jalan tengah yang diambil adalah menangguhkan pelantikan Kapolri dan KPK boleh melanjutkan pembuktian tuduhannya.
Secara tak langsung, sebenarnya Jokowi menggunakan kebebasan memilih kebenarannya sendiri, yakni menyalahkan calon Kapolri dan mencegahnya untuk ditangguhkan sampai perkaranya dibuktikan benar atau salah oleh pengadilan korupsi. Keputusan ini dengan sendirinya memihak kepada KPK dan massa pendukungnya yang dikatakan oleh Menko Polhukam sebagai "rakyat yang tidak jelas", dalam arti tidak sejelas wakil-wakil rakyat di DPR. Namun, harus diingat juga bahwa "rakyat yang tidak jelas" ini dapat merupakan kekuatan yang diam berupa people's power yang dapat mengamuk menimbulkan situasi khaos yang sulit dipadamkan.
Karena Polri merasa disalahkan sebelum dibuktikan, maka prinsip dominasi dilancarkan, yakni menyerang balik KPK dengan tuduhan yang sama, yakni Wakil Ketua KPK, meskipun tidak dituduh korupsi, tetapi melakukan "sumpah palsu" di pengadilan (untung bukan "dosa-dosa" masa lampaunya juga). Menghadapi dilema yang terus berlanjut ini, Jokowi melancarkan jalan tengah kedua dengan mengangkat tim independen dari tokoh-tokoh yang integritas karakternya sudah teruji bersih dan bebas netral selama ini.
Filosofi jalan tengah ini membutuhkan kreativitas tinggi yang kadang-kadang amat tidak diduga-duga pemecahannya. Kadang tampak salah, tetapi benar. Butuh ketajaman intuitif yang bersifat rasa, semacam ilham yang muncul secara spontan di luar logika yang berlaku, dan membutuhkan kesabaran waktu. Biasanya hanya orang-orang besar yang punya potensi kreatif semacam ini.
Budayawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar