Perjuangan melawan korupsi belum menjadi bagian sentral dalam skema demokrasi konstitusional kita. Nihilnya basis konstitusionalitas anti korupsi mengakibatkan persoalan korupsi jarang dilihat melalui lensa konstitusi. Korupsi dipahami sebatas tindak pidana khusus, kerugian keuangan negara, dan kejahatan luar biasa.
Pengesahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan diikuti pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memang telah memompa semangat dan optimisme baru akan pemberantasan korupsi. Namun, upaya terus- menerus melemahkan, mengerdilkan, dan hari-hari ini menghancurkan eksistensi KPK membuktikan pemberantasan korupsi yang tidak ditopang basis konsti- tusionalitas antikorupsi pada level konstitusi rentan digoyang, bahkan dilenyapkan setiap waktu.
Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 18 Agustus 1945 sama sekali tidak menyebut kata
Para perancang UUD 1945 tampaknya tidak mengantisipasi korupsi kelak akan menjadi ancaman destruktif bagi masa depan Republik Indonesia. Padahal, mereka tentu mengetahui keruntuhan kekuasaan VOC disebabkan oleh korupsi. Mereka juga tentu paham kultur feodal bangsa Indonesia masih permisif terhadap korupsi. Meski demikian, kealpaan para perancang UUD 1945 tidak memasukkan prinsip anti korupsi dapat dimaklumi dengan dua alasan obyektif berikut.
Pertama, UUD 1945 disusun dalam suasana politik tidak ideal; dibuat secara kilat dan di bawah pendudukan kolonialisme Jepang. Kedua, para perumus UUD 1945 memang hanya fokus pada hal-hal fundamental yang urgen saja untuk diadopsi dalam UUD 1945. Karena alasan inilah penyusun UUD 1945 menyadari UUD 1945 bukanlah konstitusi tertulis sempurna.
Soekarno menyebut UUD 1945 buatan BPUPKI dan PPKI itu sebagai
Selama periode berlakunya UUD 1945 yang tak memfasilitasi basis konstitusionalitas anti korupsi itu, semangat pemberantasan korupsi tidak menjadi agenda prioritas ketatanegaraan. Pada masa Orde Baru, yang memiliki moto "melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen", praktik korupsi justru tumbuh subur dan leluasa dilakukan.
Inisiasi pembentukan lembaga-lembaga anti korupsi oleh Pemerintah Orde Baru—mulai dari Tim Pemberantas Korupsi (1967), Komisi Anti Korupsi (1970), Komisi Empat (1970), Operasi Tertib (1977), hingga Tim Pemberantasan Korupsi (1982)—tidak menorehkan prestasi spektakuler pemberantasan korupsi. Eksistensinya sirna begitu saja seiring dengan lemahnya komitmen rezim otoritarian Orde Baru memberantas korupsi.
Undang-Undang Republik Indonesia Serikat Tahun 1949 dan Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 agak lebih maju daripada UUD 1945 dalam hal menyediakan basis konstitusionalitas antikorupsi. UUDS 1950 merupakan saduran dari UUD RIS 1949 yang disertai revisi minor, yaitu menghapus segala klausul bentuk negara federal dan senat sebagai alat kelengkapan negara federal RIS.
Kedua konstitusi tertulis yang pernah berlaku di Indonesia itu menyediakan basis konstitusionalitas anti korupsi. Terdapat klausul yang mengharuskan para pejabat publik (presiden, menteri-menteri, anggota-anggota senat, ketua senat, anggota-anggota dewan perwakilan rakyat) sebelum memangku jabatan mengucapkan sumpah/janji berikut:
Susunan kata dari sumpah/ janji ini merefleksikan visi konstitusional anti korupsi. Namun, selama masa berlakunya kedua konstitusi ini, pemberantasan korupsi belum menjadi agenda utama.
UUD 1945 setelah perubahan/amandemen 1999- 2002, yang secara resmi dinamai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kini telah menyebut kata
Basis konstitusionalitas anti korupsi dalam UUDNRI 1945 bersifat limitatif. Klausul tersebut hanya menjangkau presiden dan/atau wakil presiden, tidak mencakup semua pejabat publik yang disebut oleh konstitusi, apalagi semua warga negara. Manakala tidak ada presiden dan/atau wakil presiden melakukan tindak pidana korupsi, klausul kedua pasal itu tidak aplikatif.
Sampat saat ini derajat yuridis tertinggi pengadopsian prinsip anti korupsi dalam hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia masih mentok pada level Ketetapan MPR, yaitu Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Secara hierarkis derajat hukum Ketetapan MPR berada di bawah UUDNRI 1945 yang merupakan hukum tertinggi dalam demokrasi konstitusional.
Lantas mengapa prinsip anti korupsi yang berakar pada konstitusi perlu diletakkan pada tempat pertama, padahal telah tersedia peraturan perundang- undangan tindak pidana korupsi?
Menurut Profesor Zephyr Teachout, konstitusionalitas prinsip anti korupsi melarang pejabat publik/aktor politik melakukan aksi politik yang semata-mata dimotivasi oleh kepentingan dirinya daripada kebaikan umum (dalam Redish dan Dawson, 2012, hlm 1.060).
Melalui sudut pandang ini, kriminalisasi atas komisioner KPK yang dimotivasi oleh kepentingan/dendam pribadi dengan menggunakan selubung instrumen hukum jelas mengidap cacat konstitusional.
Mengingat gurita dan banalitas korupsi masih terus mendera bangsa ini, sudah waktunya kita menaikkan derajat prinsip anti korupsi pada level konstitusi. Dengan adanya basis konstitusionalitas antikorupsi, upaya pemberantasan korupsi tidak akan mudah mati suri di tengah jalan akibat serangan balik koruptor dan pendukungnya sebab memberantas korupsi adalah perintah konstitusi.
Melawan pemberantasan korupsi berarti melecehkan konstitusi. Ini perlu segera diwujudkan melalui amandemen/perubahan konstitusi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar