Dari segi hukum dan wewenang, mungkin tidak ada yang salah, tetapi segi etika antar-sesama penegak hukum mungkin ada masalah. Penetapan Budi Gunawan (BG) yang mungkin dipertanyakan orang adalah kenapa tidak ada komunikasi atau diskusi yang cukup antara Polri dan KPK. Padahal, Polri juga menangani kasus rekening gendut yang sudah mengemuka beberapa tahun lalu.
Penangkapan Bambang Widjojanto (BW) yang mungkin dipertanyakan orang adalah mengapa Polri tidak melalui kebiasaan selama ini, yaitu panggil dulu, apabila tidak datang, baru ditangkap. Kesemua fenomena ini mengesankan adanya arogansi sektoral dan balas dendam.
Arogansi dan balas dendam merupakan bibit ketidakobyektifan dan timbulnya akal tidak sehat yang pada akhirnya akan melibatkan lembaga peradilan, yang kalau tidak hati-hati bisa terseret arus yang membahayakan independensi lembaga peradilan. Peristiwa ini sudah terjadi, nasi sudah jadi bubur, tetapi peristiwa ini mudah-mudahan akan menjadi pelajaran berharga bagi para penegak hukum kita.
Sekarang ini terdengar berita bahwa akan diajukan praperadilan atas tindakan tersebut di atas.
Pihak yang terlibat dalam suatu proses pidana, baik sebagai tersangka atau saksi korban maupun penyidik atau penuntut umum, dapat mengajukan keberatan, baik secara vertikal maupun horizontal, apabila menganggap ada tindakan penyidik/penuntut umum yang dianggap menyimpan dari aturan hukum yang benar.
Keberatan secara vertikal adalah keberatan yang diajukan kepada atasan pejabat yang melakukan tindakan. Keberatan horizontal adalah keberatan kepada pengadilan negeri yang lazim disebut praperadilan. Praperadilan adalah upaya hukum yang dapat diajukan pihak-pihak yang berkepentingan dalam suatu proses perkara pidana. Upaya ini adalah untuk mengoreksi tindakan penyidik atau penuntut umum. Di dalam Pasal 77 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), disebutkan bahwa pengadilan negeri berwenang memeriksa dan memutus tentang: (a) sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan, (b) ganti kerugian dan/atau rehabilitasi yang dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Kewenangan ini sifatnya limitatif, dalam arti tidak semua tindakan penyidik atau penuntut umum dapat diajukan praperadilan. Di masa-masa yang lalu, ada hakim yang mencoba keluar dari ketentuan yang terbatas ini, misalnya ada hakim yang pernah mengabulkan permohonan praperadilan terhadap suatu penangkapan yang dilakukan oleh polisi Australia. Orang yang ditangkap tersebut seorang buronan dari Indonesia yang terlibat dalam kasus BLBI. Mahkamah Agung (MA) tidak membenarkan tindakan tersebut dan memberikan sanksi administratif kepada hakim itu karena MA berpendapat bahwa praperadilan Indonesia tidak menjangkau penegak hukum negara asing.
Pernah juga ada hakim yang mengabulkan permohonan praperadilan penyitaan atas kayu-kayu yang disangka hasil
MA berpendapat, hakim terikat pada pembatasan yang ditetapkan undang-undang. Sama juga halnya hakim tidak boleh memberikan yang lebih tinggi dari hukuman maksimal yang diancamkan dalam pasal-pasal pidana. Batasan-batasan tersebut disebut Goldstein sebagai
Pasal 83 KUHAP menentukan bahwa putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80, dan Pasal 81 tidak dapat dimintakan banding. Namun, dalam ayat berikutnya ditentukan pengecualian, yaitu dalam hal putusan praperadilan itu menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, yang untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilan tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan. Pasal pengecualian ini kelihatan diskriminatif karena hak-hak terdakwa dibedakan dengan hak-hak penyidik atau penuntut umum, ia menyalahi asas
Dalam Pasal 45 A Undang-Undang Mahkamah Agung (Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009) disebutkan, salah satu perkara yang tidak boleh diajukan kasasi adalah putusan praperadilan. Mahkamah Konstitusi dengan putusan No 65/PUU- IX/2011 menyatakan, aturan hak banding kepada penyidik/penuntut umum seperti yang diatur dalam Pasal 83 Ayat 2 KUHAP bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian, putusan praperadilan langsung berkekuatan hukum tetap. Pembatasan upaya hukum ini tidaklah dimaksudkan membatasi keinginan para pihak untuk memperoleh keadilan, tetapi semata-mata dimaksudkan untuk mewujudkan "acara cepat" untuk memperoleh kepastian hukum dalam waktu yang relatif singkat.
Yang diperdebatkan orang adalah apakah terhadap putusan praperadilan yang berkekuatan hukum tetap itu bisa diajukan peninjauan kembali (PK). Menurut aturan tentang PK, suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat diajukan PK. Perdebatan ini kelihatannya disikapi oleh MA dalam rapat pleno kamar 8-11 Maret 2012 yang menentukan bahwa "berdasarkan ketentuan Pasal 45 A UU No 5 Tahun 2004 bahwa terhadap perkara- perkara praperadilan tidak dapat diajukan kasasi apalagi peninjauan kembali". Namun, dalam praktiknya, masih saja kita temui ada hakim agung yang menerima permohonan PK atas putusan praperadilan.
Upaya praperadilan tidaklah perlu disikapi berlebihan, seolah-olah antar-penegak hukum akan saling sikut dan menjatuhkan. Dalam suatu negara hukum seperti dianut oleh negara kita, saling kontrol antar-penegak hukum adalah suatu hal yang lumrah. Praperadilan bukan pula untuk mencampuri kewenangan lembaga masing-masing, melainkan semata-mata dimaksudkan sebagai mekanisme kontrol terhadap proses dan penegakan hukum acara pidana yang diatur dalam perundang-undangan kita.
Semoga proses praperadilan yang dihadapi ini akan berjalan obyektif, lepas dari segala pengaruh siapa pun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar