Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 13 Februari 2015

TAJUK RENCANA Kedepankan Sikap Politik Santun! (Kompas)

Kedepankan sikap politik santun yang didasari budi pekerti luhur dan menghalalkan segala cara! Gunakan politik untuk kesejahteraan rakyat dan kedamaian!

Salah satu rekomendasi Kongres Umat Islam Indonesia VI, dua hari lalu, itu kita edit jadi perintah. Tidak lagi hanya ajakan, tetapi dalam ranah konsientisasi bersama, imbauan dan rekomendasi dengan niat bersih. Jauh dari pragmatisme kekuasaan, rekomendasi itu berarti perintah, terutama bagi penyelenggara negara dan politisi.

Mereka, baik secara legal-politis maupun sosial-budaya, berwenang membuat baik-buruknya kekuasaan. Di tangan mereka terletak praksis kekuasaan untuk kepentingan rakyat sebagai jati diri-ideal politik atau untuk kepentingan sempit-praktis, seperti dirumuskan ahli politik Harold Lasswell (1936) sebagai who gets what, when and how.

Dalam kegaduhan politik seperti pemilihan calon Kapolri berikut pengembangannya ke arah permasalahan eksistensi (baca: kriminalisasi) KPK, taruhlah berita terakhir teror yang dialami staf KPK dan keluarganya, bola ada di penyelenggara negara dan politisi. Persyaratan untuk solusi atas persoalan itu niscaya perlu dikembalikan pada entitas kekuasaan yang ideal, yakni kepentingan umum, kesejahteraan rakyat, dan kedamaian bangsa.

Tugas penyelenggara negara adalah memerintah (to govern), berarti membuat keputusan politik. Eksistensi kekuasaan diukur dari seberapa jauh keberaniannya membuat keputusan dengan panduan kepentingan umum. Ketika pemerintah tidak melakukan keputusan-keputusan strategis dan membiarkan persoalan selesai dengan sendirinya, secara etis kekuasaannya dirasa mandul.

Dalam kondisi mendesak itulah, politik tidak lagi sekadar sesuatu yang ideal-utopis, yang enak dikunyah-kunyah, tetapi sesuatu yang harus diaktualkan. Politik pun menjadi seni mengelola berbagai kemungkinan (the art of the possible). Sisi positif pragmatisme dibenarkan, bahkan harus dilakukan sebagai pilihan alternatif, sebab selain dilandasi ideologi demi kepentingan umum, juga dalam konteks kepentingan praktisnya: membumi!

Eksistensi oposisi, taruhlah Koalisi Indonesia Hebat versus Koalisi Merah Putih di parlemen, perlu dijauhkan dari semangat dan sikap balas-membalas (politics of revenge). Kalau keterusan, dua koalisi pun—repotnya tidak didasarkan ideologi, tetapi sekadar "berebut layangan putus"—keluhuran kekuasaan politik pun tercederai.

Dalam epilog kasus calon Kapolri Budi Gunawan—merujuk ke prolog sebelumnya—kita taruhkan harapan dan kepercayaan kepada Presiden Jokowi. Niscaya dengan kalkulasi dan komunikasi politiknya, dengan panduan demi kepentingan umum, segera menjatuhkan keputusannya.

Dialektika perpolitikan yang ideal dan yang riil, yang "suci" dan yang "sekadar berebut kepentingan", perlu dikembangkan secara santun—meminjam judul artikel Mochtar Pabottingi (Kompas, 12/2)—pemberantasan korupsi sebagai "Kiblat Hukum Kita"

Sumber: ‎http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000011970190 


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger