Salah satu rekomendasi Kongres Umat Islam Indonesia VI, dua hari lalu, itu kita edit jadi perintah. Tidak lagi hanya ajakan, tetapi dalam ranah konsientisasi bersama, imbauan dan rekomendasi dengan niat bersih. Jauh dari pragmatisme kekuasaan, rekomendasi itu berarti perintah, terutama bagi penyelenggara negara dan politisi.
Mereka, baik secara legal-politis maupun sosial-budaya, berwenang membuat baik-buruknya kekuasaan. Di tangan mereka terletak praksis kekuasaan untuk kepentingan rakyat sebagai jati diri-ideal politik atau untuk kepentingan sempit-praktis, seperti dirumuskan ahli politik Harold Lasswell (1936) sebagai
Dalam kegaduhan politik seperti pemilihan calon Kapolri berikut pengembangannya ke arah permasalahan eksistensi (baca: kriminalisasi) KPK, taruhlah berita terakhir teror yang dialami staf KPK dan keluarganya, bola ada di penyelenggara negara dan politisi. Persyaratan untuk solusi atas persoalan itu niscaya perlu dikembalikan pada entitas kekuasaan yang ideal, yakni kepentingan umum, kesejahteraan rakyat, dan kedamaian bangsa.
Tugas penyelenggara negara adalah memerintah (
Dalam kondisi mendesak itulah, politik tidak lagi sekadar sesuatu yang ideal-utopis, yang enak dikunyah-kunyah, tetapi sesuatu yang harus diaktualkan. Politik pun menjadi seni mengelola berbagai kemungkinan (
Eksistensi oposisi, taruhlah Koalisi Indonesia Hebat versus Koalisi Merah Putih di parlemen, perlu dijauhkan dari semangat dan sikap balas-membalas (
Dalam epilog kasus calon Kapolri Budi Gunawan—merujuk ke prolog sebelumnya—kita taruhkan harapan dan kepercayaan kepada Presiden Jokowi. Niscaya dengan kalkulasi dan komunikasi politiknya, dengan panduan demi kepentingan umum, segera menjatuhkan keputusannya.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000011970190
Tidak ada komentar:
Posting Komentar