Pada Selasa (24/2) dan Rabu, Paris dihantui pesawat nirawak yang terbang di dekat gedung Kedutaan Besar Amerika Serikat, di sekitar museum militer Invalides, Menara Eiffel, dan di sejumlah jalan utama kota Paris.
Polisi Perancis menangkap tiga wartawan stasiun televisi Al Jazeera yang mengoperasikan pesawat nirawak itu di Bois de Boulogne, taman di sisi barat Paris, Rabu. Sumber kantor berita AFP menyebutkan, yang pertama mengoperasikan pesawat nirawak yang dilengkapi kamera, yang kedua merekam, dan yang ketiga menonton.
Pengembangan pesawat nirawak itu berawal dari kalangan hobi
Kalangan sipil pun, termasuk wartawan, kemudian ikut memanfaatkan teknologi yang sama untuk melakukan tugas pemotretan atau perekaman video dari udara, dengan menggunakan pesawat nirawak kecil yang dilengkapi kamera, yang dikenal dengan nama
Otoritas Perancis melarang siapa pun mengoperasikan pesawat nirawak di langit Paris. Pelanggaran terhadap larangan itu diancam dengan hukuman penahanan dan pembayaran denda 400 euro (sekitar Rp 5,7 juta). Meskipun memang diakui, tidak mudah memonitor keberadaan pesawat nirawak.
Seperti otoritas Perancis, negara-negara lain pun mulai memberlakukan larangan yang sama. Kemajuan teknologi, seperti yang telah disebutkan di atas, mempunyai dua sisi, baik dan buruk.
Kewaspadaan itu memang penting. Namun, daripada melarang penggunaannya, akan jauh lebih baik jika tidak dilarang, tetapi diatur penggunaannya. Dengan demikian, sisi baik dari pengoperasian pesawat nirawak itu dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin dan sisi buruknya dapat dicegah tuntas.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Februari 2015, di halaman 6 dengan judul "Pesawat Nirawak dan Kewaspadaan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar