Dalam Nawa Cita ada dua agenda prioritas yang kental nuansa ekonominya, yaitu (1) meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional dan (2) mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.
Aura optimisme APBN-P 2015 terlihat dari asumsi pertumbuhan ekonomi 5,7 persen di 2015, padahal prediksi para ekonom dan analis hanya 5,35 persen. Saya kira wajar pemerintah harus optimistis, apalagi ada target sangat tinggi dari pemerintahan Jokowi-JK untuk mengejar pertumbuhan ekonomi 7 persen, hanya dalam tempo tiga tahun.
Dalam dua tahun terakhir, asumsi pertumbuhan pemerintah di APBN selalu tak tercapai. Pertumbuhan aktual jauh lebih rendah dari target. Pertumbuhan ekonomi 2013 hanya 5,6 persen, sedangkan di APBN, asumsi pertumbuhan 6,3 persen. Begitu pula tahun 2014, asumsi pertumbuhan 5,5 persen, tetapi realisasinya hanya 5,0 persen.
Ruang fiskal
Dalam APBN sebelumnya, ruang fiskal sangat sempit karena subsidi BBM sangat besar, Rp 200 triliun-Rp 250 triliun. Tahun ini, ruang fiskal cukup besar karena pemerintah berhasil mencabut subsidi bensin dan hanya memberikan subsidi tetap untuk solar. Realokasi pengeluaran dana subsidi ini memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk menaikkan pengeluaran kapitalnya secara signifikan guna mendorong perbaikan infrastruktur (jalan, jembatan, irigasi, pelabuhan, dan lain-lain) sehingga mampu menyangga pertumbuhan yang dicanangkan.
Agresivitas pemerintahan Jokowi-JK juga terefleksi dari tingginya asumsi pertumbuhan konsumsi pemerintah, 4,2 persen, hampir dua kali lipat dibanding 2014 yang 2,4 persen. Begitu juga pertumbuhan investasi 8,1 persen, dari 4,9 persen 2014. Dari sisi sektoral, yang mendapat perhatian khusus adalah (1) pengadaan listrik dan gas, (2) pengadaan air, (3) transportasi dan pengangkutan, dan (4) industri pengolahan.
Optimisme pemerintah dalam pertumbuhan ekonomi akan membuat segenap jajaran pemerintah bekerja keras untuk mencapainya. Namun, ada yang harus diwaspadai ketika target pertumbuhan tak tercapai. Pendapatan negara akan turun, terutama dari penerimaan pajak.
Turunnya pendapatan mengakibatkan belanja negara akan dikurangi. Pengurangan belanja negara secara signifikan biasanya tak mudah, akibatnya defisit APBN bisa bertambah. Berdasarkan analisis sensitivitas RAPBN-P 2015, ketika pertumbuhan ekonomi turun 0,1 persen, maka defisit akan naik sekitar Rp 0,95 triliun. Ini berarti, jika pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,7 persen dan ternyata realisasinya hanya sekitar 5,3 persen, maka defisit akan naik sekitar Rp 3,8 triliun.
Dari sisi inflasi, asumsi pemerintah lebih pesimistis dibandingkan prediksi para ekonom dan analis. Pemerintah memperkirakan 5 persen pada 2015, sedangkan pelaku pasar 3,5-4,5 persen. Tingginya inflasi pemerintah disebabkan oleh beberapa kemungkinan risiko, yaitu kenaikan harga minyak dunia di atas 60 dollar AS/barrel (saat ini berkisar 50 dollar AS/barrel). Hal ini berarti ada kemungkinan harga BBM akan naik yang akan mendorong kenaikan inflasi.
Selain itu, melihat keberanian pemerintah menghapus subsidi bensin, ada peluang pemerintah terus berupaya mengurangi subsidi listrik untuk RT 3.500 VA ke bawah dan subsidi elpiji 3 kilogram. Sebenarnya, kenaikan tarif listrik untuk 1.300 VA dan 2.200 VA pernah diusulkan kenaikannya per 1 Januari 2015, tetapi ditunda pelaksanaannya. Jika hal ini berjalan mulus dan tak menimbulkan kegaduhan politik dan sosial, maka akan ada tambahan dana lagi dari pengurangan subsidi listrik dan elpiji.
Oleh karena itu, ruang fiskal pemerintah makin besar lagi, di mana sebelumnya sudah ada tabungan dari pencabutan subsidi bensin dan subsidi tetap untuk solar. Namun, menurut perkiraan kami, agaknya skenario ini sulit dilakukan tahun ini (terutama untuk elpiji 3 kilogram), karena sangat rentan terhadap penolakan dari masyarakat. Kondisi ekonomi kita pun (terutama pasar finansial dan valas) sangat rentan dengan kondisi global yang masih tak menentu.
Pertumbuhan ekonomi global cenderung direvisi ke bawah, kecuali AS. Hanya AS yang diharapkan jadi motor pemulihan ekonomi global, dimana pemulihannya belum terlalu solid. Data ekonomi AS cenderung belum stabil, terutama inflasi yang menurun di bawah 1 persen (target The Fed 2 persen). Kondisi ini meningkatkan ketidakpastian, kapan dan berapa besar AS akan menaikkan suku bunganya tahun ini? Akibatnya, pasar finansial dan valas menjadi sangat rentan bergejolak, termasuk rupiah.
Pemerintah tampaknya sudah mengantisipasi ini. Hal ini terlihat dari asumsi nilai tukar rupiah yang lebih lemah menjadi Rp 12.500 dari Rp 12.200 (asumsi sebelumnya Rp 11.900) per dollar AS. Menarik untuk disimak, dalam analisis sensitivitas, ternyata pelemahan rupiah berdampak positif ke anggaran (tambahan surplus). Kelihatannya ini tidak masuk akal dan sulit dimengerti. Dalam APBN beberapa tahun sebelumnya, ketika rupiah melemah, defisit anggaran pemerintah membengkak. Penyebab utamanya adalah pembengkakan subsidi BBM karena Indonesia importir neto minyak.
Di era pemerintahan Jokowi-JK, pelemahan rupiah tak menyebabkan subsidi BBM meningkat tajam karena hanya solar yang diberikan subsidi tetap. Oleh karena itu, wajar ketika rupiah melemah, pendapatan pemerintah naik lebih tinggi dibandingkan pengeluarannya dan bisa menaikkan surplus anggaran Rp 2,0 triliun-Rp 2,7 triliun untuk setiap pelemahan rupiah sebesar Rp 100 per dollar AS.
Kekhawatiran pemerintah akan kenaikan suku bunga acuan AS pada tahun ini terlihat dari tingginya asumsi suku bunga Surat Perbendaharaan Negara (SPN) 3 bulan sebesar 6,2 persen. Tampaknya, asumsi ini terlalu tinggi mengingat imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun sudah berada di bawah 7 persen. Perkiraan kami, untuk obligasi pemerintah 10 tahun bisa berada di kisaran 6,75-7,25 persen. Ini artinya, suku bunga SPN 3 bulan bisa lebih rendah dari 6,2 persen. Tingginya asumsi suku bunga SPN 3 bulan seharusnya tak menjadi masalah dari sisi pengeluaran negara. Ada potensi suku bunga SPN 3 bulan lebih rendah 6,2 persen dan ini artinya pengeluaran pemerintah untuk membayar bunga menjadi berkurang.
Masih ada tiga asumsi yang tak kalah penting, yaitu (1) harga minyak mentah Indonesia (ICP), (2)
Perlu kerja keras
Seiring pemulihan ekonomi global yang relatif lambat, wajar kalau tren harga minyak dunia mengalami penurunan. Dan ini berakibat harga ICP pun turun drastis. Oleh karena itu, pemerintah pun menurunkan asumsi harga ICP menjadi 60 dollar AS dari 70 dollar AS/barrel (bahkan sebelumnya pernah diusulkan 105 dollar AS/barrel). Angka ini cukup realistis mengingat harga minyak dunia di bawah 50 dollar AS/barrel diperkirakan tak akan berlangsung lama.
Berkaitan dengan
Asumsi
Secara keseluruhan, asumsi makro APBN-P 2015 cukup realistis, hanya target pertumbuhan ekonomi sangat optimistis. Pemerintah harus bekerja ekstra keras untuk mewujudkannya.
ANTON HENDRANATA CHIEF ECONOMIST PT BANK DANAMON INDONESIA TBK
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Februari 2015, di halaman 7 dengan judul "Optimisme APBN Perubahan 2015".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar