Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 23 Maret 2015

ANALISIS EKONOMI: Mendorong Inovasi Industri

Inggris bagian utara pada awal musim semi ini dinginnya masih menggigit. Sebagai salah satu pusat keuangan global, perekonomian negara ini terguncang sejak krisis 2008. Namun, masyarakatnya tak henti mengembangkan pendekatan baru di berbagai bidang. Justru setelah krisis, pendekatan investasi sosial, inovasi sosial, dan kewirausahaan sosial semakin gencar didiskusikan di sejumlah universitas terkemuka, seperti Oxford, Cambridge, London School of Economics.

Mengandalkan sektor keuangan yang begitu lentur dan terus berfluktuasi, akhirnya tak banyak membantu tanpa menanam pada proses sosial dan industrial di sektor riil. Ekonom Schumpeter benar, saat paling baik melakukan perubahan justru saat krisis. Prinsip ini mestinya berlaku bagi kita. Dinamika nilai tukar belakangan ini mestinya melecut kita lebih gencar melakukan perubahan di berbagai sektor perekonomian, khususnya inovasi sektor industri.

Selama sepuluh tahun terakhir ini, nyaris tak ada perubahan signifikan pada lanskap industri kita sehingga tak mengherankan jika perekonomian begitu labil dan mudah terguncang siklus keuangan global. Oleh karena itu, mendesak membangun basis industri yang kokoh serta mampu menjadi jangkar penahan gempuran siklus ekonomi. Dari mana kita mulai?

Joseph Stiglitz, tahun lalu, menerbitkan buku sangat inspiratif berjudul Creating a Learning Society: A New Approach to Growth, Development, and Social Progress. Buku ini mengingatkan, akumulasi dalam inovasi lebih penting ketimbang akumulasi kapital. Lebih luas lagi, pertumbuhan membutuhkan perubahan sosial. Mendorong industri dan inovasi akhirnya berurusan dengan pembangunan manusia dan sistem sosial.

Inovasi (sosial) mengandung implikasi sangat luas dan dalam. Karena itu, tak mungkin dilakukan secara instan. Kalaupun dijalankan dengan baik dan benar, dibutuhkan waktu bertahun-tahun. Belum lagi, diperlukan konsistensi yang kuat untuk menghindari gangguan dari para pemburu rente yang selalu memanfaatkan peluang. Meskipun sulit, kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Situasi terkini menunjukkan dinamika ekonomi domestik sangat bergantung pada siklus global.

Sektor properti tertekan kenaikan harga bahan baku, selain suku bunga tinggi. Efek kenaikan harga bahan bakar minyak sudah mereda, tetapi pukulan kembali datang dari depresiasi nilai tukar yang menembus Rp 13.000 per dollar AS. Sektor properti menengah ke atas sangat bergantung pada barang impor, mulai dari keramik, toilet, aksesori hingga interior.

Namun, bukan berarti rumah kecil dan sederhana tak mengalami tekanan harga. Data indeks penjualan grosir, bahan baku yang naik paling tinggi sepanjang 2014 justru bahan dasar, seperti pasir (sekitar 14 persen), batu kali (13 persen), tanah uruk (12 persen). Bandingkan dengan semen yang hanya naik sekitar 6 persen. Ternyata, bukan saja bahan baku impor yang melonjak, justru bahan baku lokal kenaikannya lebih tinggi.

Salah satu agenda penting adalah menumbuhkan inovasi di sektor bangunan agar bahan baku dalam negeri bisa mulai bersaing. Namun, inovasi tak sekadar meningkatkan nilai tambah terhadap produk, tetapi juga dalam hal proses dan tata niaga.

Begitu pun sektor otomotif. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) memperkirakan, penjualan mobil pada Maret ini hanya sekitar 88.000 unit atau turun dibandingkan dengan Februari dan agak jauh dari angka penjualan Januari sebesar 94.000 unit. Sepanjang 2014, total penjualan mobil 1,21 juta unit atau turun dari tahun sebelumnya 1,23 juta unit.

Dalam mata rantai industri global, paling penting adalah mengidentifikasi mata rantai pasokan yang mampu dibangun. Dalam konteks mata rantai industri otomotif, sebenarnya kita kuat di produksi ban. Mengapa kita tidak berobsesi meningkatkan peran kita memasok ban pada industri otomotif regional? Berbagai inovasi tentu perlu dilakukan.

Sektor otomotif termasuk yang paling menjanjikan untuk dikembangkan. Berdasarkan riset Frost & Sullivan Indonesia, ada berbagai faktor pendorong pertumbuhan penjualan mobil di Indonesia dalam jangka menengah, antara lain peningkatan anggaran infrastruktur pemerintah, naiknya minat investasi, dan pertumbuhan kelas menengah, serta kehadiran mobil murah hemat energi (low cost and green car/LCGC).

Untuk segmen LCGC, apabila pasarnya hanya di domestik, akan menimbulkan komplikasi dengan ketersediaan jalan dan konsumsi BBM. Namun, lain ceritanya jika diorientasikan untuk ekspor. Sama halnya dengan rencana dua pabrikan besar Jepang (Mitsubishi dan Yamaha) yang akan mengalihkan pabriknya dari Thailand ke Indonesia. Mereka akan menjadikan Indonesia sebagai basis industri sepeda motor untuk ekspor.

Dalam hal ini, identifikasi peran industri domestik sebagai bagian dari mata rantai pasokan global menjadi penting. Selama ini, kita adalah bagian dari mata rantai konsumsi global. Kuncinya adalah mengubah dari basis konsumsi menuju produksi. Selain kebijakan pokok, seperti mengurangi biaya logistik, perizinan terpadu satu atap, pengurangan pajak, perlu juga fokus pada kemampuan inovasi di beberapa sektor yang kita pilih.

Sudah saatnya pemerintah fokus pada peningkatan kapasitas inovasi di beberapa segmen industri. Dengan berbasis pada beberapa sektor unggulan tersebut, semoga kapasitas inovasi industri nasional secara umum juga bisa meningkat. Dengan begitu, kita tak terlalu mudah terpengaruh oleh dinamika siklus ekonomi yang terus bergerak.

A PRASETYANTOKO, DOSEN DI ATMA JAYA SCHOOL OF ECONOMICS AND BUSINESS JAKARTA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Maret 2015, di halaman 15 dengan judul "Mendorong Inovasi Industri".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger