Ada benang merah dalam tiap ulasan tentang mantan Perdana Menteri Lee Kuan Yew dari Singapura yang baru saja berpulang: Ia adalah negarawan berbakat dengan kemampuan politik yang andal. Karismanya bahkan diteliti melalui penelusuran substansi pidato-pidato yang dia sampaikan (Tan & Wee, 2002).
Dalam penelusuran pidato-pidato Lee menjelang hari kemerdekaan, ia selalu memilih istilah yang memberikan gambaran tentang kondisi lingkungan yang harus dihadapi Singapura sebagai suatu negara. Ia gambarkan visi dan langkah yang ia usulkan dengan mengangkat sejarah yang mempersatukan Singapura dan ia angkat rasa percaya diri masyarakat sehingga rasa percayalah yang tumbuh dalam hati dan pikiran warga negaranya.
Kalau karisma adalah suatu bakat dan kepercayaan politik sebagai peluang, Lee tidak menganggap hal tersebut keniscayaan. Sebaliknya, setiap kali ada kesempatan, ia selalu menciptakan gairah baru yang menipiskan rasa ragu-ragu untuk memercayakan tampuk kepemimpinan negeri singa itu kepadanya dan orang-orang yang dipilih olehnya, termasuk kemudian anaknya, sekarang Perdana Menteri Lee Hsien Loong dan menantunya, Ho Ching.
Mengintervensi privat
Sebagai tokoh dan bapak bangsa, Lee bukannya tidak menimbulkan kontroversi. Contoh yang paling sering diangkat oleh warga negara biasa di Singapura adalah bahwa Lee menciptakan dan merawat sistem tata kelola pemerintahan yang mengintervensi kehidupan privat para warga negaranya.
Lee menjawab dalam pidato hari kemerdekaan tahun 1986: "Saya kerap dituding mencampuri urusan rumah tangga warga negara. Ya, kalau saya tidak melakukan hal itu, kita tidak mungkin sampai pada titik ini. Dan saya katakan ini tanpa penyesalan setitik pun.. Kami memang telah mengintervensi hal-hal paling pribadi dalam hidup Anda-siapa tetanggamu, bagaimana Anda hidup, suara apa yang Anda buat, bagaimana Anda meludah, atau bahasa apa yang Anda gunakan. Kami telah memutuskan hal yang benar; terserah apa kata orang."
Dengan paham "terserah apa kata orang" pula, Lee tidak gamang menjalankan Operation Cold Store tahun 1963, ketika ia menangkapi dan menahan lebih dari 111 aktivis sayap kiri. Sikap pragmatisnya diungkapkan dengan pernyataan, "Apabila sayap kiri menang, kita tahu apa yang akan terjadi. Tetapi, apabila kita yang menang, mereka akan hidup tenang dengan roti dan telur di penjara."
Lee juga tidak gamang dalam menentang kebebasan pers dan media massa, mengampanyekan sterilisasi perempuan setelah melahirkan anak kedua tahun 1970-an, dan tahun 2000-an membangkitkan kesadaran yang sebaliknya: tentang pentingnya perempuan berpendidikan yang mampu secara ekonomi untuk bersedia melahirkan anak ketiga, keempat atau kelima, menyita lahan demi kepentingan pembangunan, membuat pengadilan keluarga supaya orangtua bisa menuntut anak yang menelantarkannya, dan sebagainya.
Memang, yang unik dari Lee adalah ia tergolong personal juga sebagai pemimpin. Ia
Tanggung jawab merespons kebijakan negara dijawab langsung olehnya. Secara tidak langsung, kita bagai melihat sebuah kerajaan dalam tatanan modern. Selain itu, Sang Raja meraih kepercayaan karena "merawat" kehidupan warganya.
Aktif menginspirasi
Bahkan, ketika ia menyerahkan takhtanya kepada Goh Chok Tong tahun 1990, ia tetap aktif menginspirasi kebijakan publik di Singapura. Misalnya, Lee mendorong terbentuknya perbaikan sistem pendidikan, bahkan mengembangkan ide-ide secara konsisten di bidang kebijakan publik, mendorong warganya untuk bersekolah sampai perguruan tinggi, bahkan di bidang-bidang yang ia identifikasi sebagai
Kehidupan di Singapura dibuat sangat teratur, terprediksi, dan serba terdaftar. Nyaris tak ada data pribadi seseorang, termasuk aset pribadi yang tidak terdeteksi oleh negara. Itu sebabnya, warga yang aktif berpolitik kerap waspada pada kemungkinan asetnya dibekukan atau disita karena dianggap subversif. Di sisi lain, fasilitas publik dibuat sangat bersih, tertata, dan dengan standar mutu tinggi sehingga tak ada keraguan akan kenyamanan konsumen ketika memutuskan untuk berbisnis dengan Singapura;
Itu sebabnya, kepergian Lee Kuan Yew hampir dipastikan tidak akan mengubah tata kelola pemerintahan di Singapura. Lee telah berhasil menciptakan habitus baru yang dianggap sebagai modal penting bagi Singapura untuk bersaing dalam ekonomi pasar global. Kritik terhadap sistem politik yang dianggap tidak demokratis pun tidak akan serta-merta menggoyangkan praktik yang ada karena kelompok-kelompok kepentingan yang ada juga khawatir akan risiko ekonomi yang harus ditanggung.
Politik internasional
Meskipun Singapura adalah
Dalam kegiatannya tersebut, kita perlu melihat Lee sebagai bebas dari dikotomi atau politik kiri-kanan, sosialis atau kapitalis, liberal atau konservatif, karena Lee adalah produk sejarah yang terbangun seiring dengan perjalanan sejarah negara Singapura.
Dalam politik luar negeri, Lee dapat dikatakan sebagai seorang realis dan pragmatis (Durdin, 1974). Ia adalah seorang realis dalam melihat konstelasi atau kompetisi kekuatan politik negara-negara yang ada di sekelilingnya dan pragmatis dalam menelurkan kebijakan yang merespons hal tersebut.
Contohnya adalah permintaan Lee kepada Amerika Serikat untuk hadir di kawasan Asia Tenggara pada tahun 1970-an. Hal itu berlangsung bukan karena loyalitas ideologi atau ketakutan yang berlebih, bahwa beberapa negara seperti Vietnam, Kamboja, dan Laos adalah negara-negara yang dekat atau mudah dipengaruhi oleh politik luar negeri Tiongkok. Pertimbangannya lebih ke bagaimana supaya tidak timbul kekacauan yang dapat membuat negaranya menjadi tidak stabil.
Hal itu dikukuhkan dengan izin Lee bagi Bank of Peking beroperasi di Singapura karena banyak warga Singapura keturunan Tiongkok yang mengirimkan remitansi dari Singapura ke Tiongkok, meskipun nominal dibatasi dan bank tersebut dilarang melakukan propaganda politik.
Bagi Indonesia, pilihan politik Singapura di bawah Lee dan inspirasi Lee menjadi menguntungkan. Pertama, untuk mendorong skema kerja sama kawasan, dan kedua, untuk menciptakan suasana kondusif bagi pertumbuhan ekonomi.
Tak heran apabila Lee termasuk yang sangat akrab dengan Presiden Soeharto. Keduanya punya impian serupa: keteraturan dan stabilitas yang mendorong tercapainya kemakmuran.
Lee Kuan Yew adalah generasi politisi di ASEAN yang mendambakan ruang lebih luas bagi negara Asia Tenggara untuk diperhitungkan di kancah politik global. Kepentingan Lee di masa-masa awal ASEAN terbilang cocok dengan kebutuhan negara-negara ASEAN pada masa itu.
Perekonomian terbuka
Namun, sekali lagi, posisi Lee sebenarnya sangat strategis sekaligus pragmatis, yakni bahwa negara kecil seperti Singapura hanya bisa diuntungkan apabila perekonomiannya terbuka, terintegrasi dengan perekonomian global, tetapi negara-negara di kawasannya tumbuh pesat dan mengandalkan Singapura juga sebagai hub. Karena alasan itu pula Singapura terbilang cukup agresif membangun kemitraan dengan negara-negara lain agar mau berinvestasi ke Singapura, bahkan dengan membawa serta nama ASEAN dalam skema-skema kerja sama tersebut.
Bagi Indonesia, Lee Kuan Yew merupakan contoh pemimpin negara yang luar biasa dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi. Meski demikian, kita juga perlu sadar bahwa pilihan politik Lee punya konsekuensi juga. Yang dilakukan Lee mustahil diadopsi secara mentah-mentah di Indonesia. Karakter masyarakatnya berbeda, demikian pula dengan sejarah dan tatanan politiknya.
Yang menarik adalah bahwa pemimpin di Singapura berhasil menggalang kesadaran yang diterima luas di Singapura bahwa untuk negara kecil seperti Singapura, negara mereka akan gagal apabila penduduknya "salah urus" sehingga terjerat kemiskinan, kebodohan, dan korupsi; karena instan saja perekonomian mereka akan langsung terpuruk dan redup daya tariknya. Hal ini yang sejauh ini justru dihindari oleh elite politik di Indonesia.
Kita patut sadar bahwa Singapura berhasil secara ekonomi karena masyarakatnya dikondisikan untuk terampil, terdidik, dan makmur. Sistem pelayanan publik dibuat lebih menarik bagi para lulusan dengan prestasi terbaik. Gaji pegawai negeri pun dibuat kompetitif dengan mereka yang bekerja di sektor swasta.
Di masa pemerintahan Lee Kuan Yew, investigasi korupsi dapat dimulai dari rumor semata. Hal ini untuk melarang para pegawai negeri mengadakan pertemuan dengan pihak-pihak yang diduga berpotensi melakukan penyuapan atau memengaruhi kebijakan pemerintahan. Indonesia pun patut menggalang dukungan masyarakat lewat sistem politik dan kesejahteraan yang konsisten, karena hal itulah yang membuat Singapura sukses berkembang di "era Asia".
Selamat jalan, Lee Kuan Yew.
DINNA WISNU CO-FOUNDER DAN DIREKTUR PARAMADINA GRADUATE SCHOOL OF DIPLOMACY
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Maret 2015, di halaman 6 dengan judul "Refleksi Strategi Lee Kuan Yew".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar