Kesantunan tidak berkorelasi dengan kejujuran, tetapi sebaliknya, kesantunan berkelindan dengan perbuatan durhaka. Mungkin inilah yang menyebabkan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama muak terhadap kesantunan palsu sehingga dia mencoba mengimbangi atau menetralisasi dengan bicara galak, tetapi kelakuan lurus. Kekesalan Basuki mirip dengan politisi Australia, Don Chipp, Ketua Australian Democrats. Karena rasa jengkel terhadap kepalsuan lawan politiknya, ia menulis buku
Namun, iklim keterbukaan telah berhasil menelanjangi oknum penyusup anggaran siluman dengan gamblang, nyaris tidak terbantahkan. Khususnya laporan investigasi yang membongkar mulai dari tingkat penggelembungan harga, perusahaan abal-abal, sampai caci maki orang-orang yang seharusnya dapat menjaga martabatnya (
Pengakuan jujur tersebut merupakan simtom bahwa kejahatan korupsi politik mungkin sekali merambah di seluruh peme- rintah daerah, bahkan tidak mustahil terjadi pula di pemerintah pusat. Sindrom itu juga menengarai lunglainya kedigdayaan putusan MK No 35/PUU-XI/2013 yang membatalkan kewenangan membahas anggaran sampai satuan tiga (kegiatan dan jenis belanja) pada UU No 17 Tahun 2013 Pasal 15 Ayat 5.
Sementara itu, Surat Edaran Menteri Dalam Negeri 11 Juni 2014 memberikan pedoman yang jelas. Pertama, larangan DPRD membahas APBD yang sudah diparipurnakan di tingkat komisi sampai satuan tiga. Kedua, melarang lobi-lobi antara DPRD dan SKPD (satuan kerja pemerintah daerah). Oleh karena itu, Kemendagri harus benar-benar serius menyelesaikan kekisruhan ini. Terlebih, kendali desentralisasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan Kemendagri dalam dua hal: pengawasan anggaran dan kebijakan tata ruang.
Perseteruan Gubernur DKI Jakarta dengan DPRD telah membuka kotak pandora yang membongkar perilaku tidak terpuji sebagian pejabat publik. Bahkan, kotak ajaib mengungkapkan gejala yang lebih menakutkan, yaitu niat baik politik para pengambil keputusan yang diragukan. Kasus anggaran siluman sangat gamblang memberikan fakta kepada publik. Kalau sebagian kalangan mempersoalkan dari segi hukum tidak terbukti, tetapi kalau dari perspektif politik, atau lebih tepatnya niat baik politik, perilaku mereka yang kurang terpuji sulit dibantah.
Perspektif politik ini jauh lebih penting dalam negara di mana praktik penegakan hukum lebih banyak didasarkan pada penafsiran bunyi pasal daripada dimensi keadilan.
Maka, rakyat harus bergerak dan memberikan dukungan kepada kebijakan yang memihak rakyat. Publik harus semakin sadar bahwa lembaga perwakilan bukan institusi yang mengabsorbsi habis kedaulatan rakyat. Wakil rakyat hanya mendapatkan sebagian dari kedaulatan rakyat. Rakyat tetap berdaulat penuh sehingga rakyat mempunyai otoritas mengoreksi perilaku wakil rakyat yang menyimpang dari harapan publik. Pemahaman yang menganggap lembaga perwakilan rakyat menyedot habis kedaulatan rakyat akan mereduksi demokrasi. Opini publik dan kekuatan masyarakat sipil harus mengoreksi sesat pikir tersebut.
Momentum kekisruhan penyusunan RAPBD DKI harus diambil hikmahnya. Penyebab utamanya adalah dominasi
Kebijakan selama ini tidak masuk akal. Anggaran negara untuk parpol hanya sebesar jumlah pemilih dikalikan Rp 108 (seratus delapan rupiah). Sensus Politik yang dilakukan CSIS bersama Cyrus Network bulan Februari 2015, dalam kasus Partai Amanat Nasional, sekitar 85 persen DPD kabupaten/kota per bulan mengeluarkan dana Rp 1 juta sampai Rp 10 juta.
Temuan ini dapat dijadikan dasar melakukan ekstrapolasi kebutuhan anggaran partai politik yang lebih wajar. Oleh karena itu, perlu dipikirkan kemungkinan pembiayaan partai oleh negara. Tentu disertai dengan tingkat transparansi dan akuntabilitas yang tinggi, misalnya melalui
J KRISTIADI, PENELITI SENIOR CSIS
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Maret 2015, di halaman 15 dengan judul "Kotak Pandora Kisruh RAPBD DKI Jakarta".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar