Asyani yang ditahan sejak Desember 2014 baru ditangguhkan penahanannya pada Senin (16/3) lalu oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Situbondo. Namun, perkaranya belum berhenti. Ia masih harus menjalani lanjutan persidangan hingga ada putusan pengadilan.
Walaupun mencoba meyakinkan polisi bahwa tujuh balok kayu jati yang menjeratnya merupakan peninggalan suaminya, almarhum Mustari, Asyani tetap ditahan dan diadili. Saksi dari warga dan pimpinan desanya tidak menyurutkan niat Kepolisian Negara RI untuk menegakkan hukum yang keras kepadanya.
Kisah Asyani, yang diikuti kisah Harso Taruno (63), petani dari Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang diadili karena didakwa menebang sebatang kayu jati di hutan Suaka Margasatwa Paliyan, kian menguatkan fenomena penegakan hukum di negeri ini.
Aparat menggunakan hukum seperti golok, yang tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Padahal, hukum selalu digambarkan sebagai pedang. Pedang keadilan.
Sebilah pedang tajam pada dua sisinya sehingga dilukiskan hukum tak pandang bulu. Semua orang memiliki kedudukan yang sama di muka hukum. Dewi Keadilan pun ditutup kedua matanya sehingga tak pilih kasih dalam menegakkan hukum.
Jika selama ini penegakan hukum dijalankan dengan pedang keadilan, semua orang diberlakukan sama di depan hukum, kisah Asyani atau Harso atau kisah lain orang kecil yang tidak berdaya di depan aparat hukum, tak akan menarik perhatian masyarakat. Tidak akan terjadi ketidakadilan. Realitasnya, hukum ditegakkan tajam untuk mereka yang tak berdaya.
Remisi dan ketidakadilan
Seperti membuka ketidakadilan, ketika masyarakat prihatin dengan nasib Asyani dan juga yang lain, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna H Laoly mewacanakan perubahan terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 mengenai Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Revisi PP itu dikhawatirkan akan membuat pemberian remisi (pengurangan hukuman) kepada pelaku tindak pidana korupsi menjadi lebih mudah. Kondisi itu tentu saja tidak sejalan dengan kehendak rakyat, yang menginginkan koruptor tak perlu dikasihani. Korupsi adalah tindak pidana luar biasa.
Perubahan terhadap PP No 99/2012, jika dilakukan, tentu saja tak akan berdampak kepada Asyani. Bukan saja karena ia tidak bisa melakukan korupsi dan merugikan keuangan negara, tetapi juga karena dia belum berstatus warga binaan pemasyarakatan. Asyani belum dihukum meski pernah ditahan. Jadi, tidak mungkin dia diberi pengurangan hukuman.
Namun, seperti pesan Presiden Joko Widodo supaya Menteri Hukum dan HAM menjaga rasa keadilan rakyat, cerita Asyani bisa menjadi inspirasi untuk memperketat syarat pemberian remisi kepada terpidana korupsi. Kemiskinan yang dialami Asyani dan Harso, serta kebutaan mereka pada hukum di negeri ini, boleh jadi merupakan buah dari perilaku koruptif dari penyelenggara negara.
Seperti diingatkan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang dampaknya bisa memengaruhi kehidupan masyarakat. Pelaku korupsi biasanya merupakan figur yang mempunyai kekuatan sosial, politik, atau ekonomi. Bukan seperti Asyani atau Harso.
Oleh karena itu, menjaga rasa keadilan adalah dengan memperberat syarat pemberian remisi kepada pelaku korupsi. Tak cukup hanya berkelakuan baik dan sudah menjalani sepertiga dari masa hukumannya, PP No 99/2012 yang dikeluarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengharuskan pula terpidana korupsi bisa diberikan pengurangan hukuman jika bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar kasus korupsi yang dilakukannya, serta membayar lunas denda dan uang pengganti.
Revisi terhadap PP No 99/2012 bisa dilakukan dengan menambah syarat sehingga pemberian remisi kepada pelaku korupsi lebih berat lagi. Pembahasan perubahan PP itu pun melibatkan KPK, sebagai penyelenggara negara yang bertugas memerangi korupsi.
Misalnya, remisi hanya bisa diberikan kepada terpidana kasus korupsi yang bersedia mengembalikan kerugian negara yang dikorupsinya, bahkan membayar lebih, bertobat, dan bersedia menjadi
Pelaku kejahatan, termasuk korupsi, yang berkelakuan baik serta memberikan kontribusi bagi pembangunan masyarakat haruslah dihargai. Namun, tindakan baik itu harus terbuka sehingga rakyat dapat mengetahui dan merasakannya. Rakyat tentu tidak keberatan memberikan penghargaan kepada seseorang yang berjasa meski orang itu adalah terpidana korupsi.
Jangan mengusik rasa keadilan rakyat dengan mewacanakan ketidakadilan, apalagi saat ketidakadilan itu masih nyata terjadi di masyarakat....
EMAIL: TRI.AGUNG@KOMPAS.COM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar