Sementara warga yang gemar sepak bola bersibuk dengan menonton siaran langsung sepak bola dunia di televisi yang penuh pernak-pernik kemasan acara. Warga sering tidak menyadari bahwa yang serba meriah serta populer bukanlah senantiasa paralel dengan prestasi, simak prestasi kesebelasan Indonesia. Dengan kata lain, individu warga Indonesia hidup dan dihidupi oleh kemasan bukan esensi yang menjadi dasar pertumbuhan masyarakat sipil yang sehat.
Perilaku bangsa kemasan ini menjadikan lahirnya ciri-ciri tersendiri dalam kehidupan sehari-hari ataupun berpolitik berbangsa.
Pertama, ciri bangsa serba pameran. Ciri ini ditandai dengan perilaku serba unjuk hasil secara cepat agar menjadi perhatian massa. Simaklah, pemecahan musibah AirAsia ditangani serta diliput lebih serius serta panjang dibandingkan kasus-kasus musibah di Tanah Air, seperti longsor hingga banjir bandang, yang justru melahirkan korban pada wilayah miskin yang tidak mampu melakukan pemulihan ekonomi dan psikologi guncangan secara cepat, bahkan cenderung mengalami kemerosotan daya hidup ekonomi.
Kedua, ciri bangsa serba pragmatis tanpa kenegarawanan. Ciri ini ditandai dengan gejala pemecahan bersifat instan agar bisa dilihat dan dirasakan warga bangsa, meski sesungguhnya pemecahan strategis tidak muncul, bisa diduga program awalnya berjalan populer, namun kemudian kehilangan pengembangan strategis ke seluruh masyarakat. Gejala ini muncul paralel dengan lahirnya elite pragmatis baru tanpa nilai kenegarawanan. Padahal, panduan spirit bangsa adalah prasyarat pertumbuhan kerja bangsa
Ketiga, ciri bangsa serba bermain tanda. Bangsa kemasan ditandai dengan elite kepemimpinan yang mampu menjadi bagian dari tanda-tanda populer gaya hidup serta impian sekaligus berbagai hal yang tidak stereotip, baik dari kostum, gaya berpolitik, hingga bahasa tubuh. Gejala ini muncul di tengah partisipasi politik alias demokrasi yang menjadi bagian gaya hidup baru penuh euforia yang dihidupi beragam tanda.
Inilah dunia main-main tanda, tanda-tanda yang dimunculkan seakan paralel dengan prestasi, namun sesungguhnya bisa saja terbalik. Layaknya iklan, kemasan produk hingga tawaran gaya hidup serta impian hidup lebih baik, atau juga harapan keluar dari stereotip, membawa warga mengonsumsi produk tersebut meski sesungguhnya kualitas produk tidak merepresentasikan tanda-tanda tersebut. Pada bangsa dengan ciri semacam ini, yang menjadi penting adalah para pemberi dan pengemas tanda alias juru komunikasi dan marketing.
Keempat, ciri bangsa sebagai kelompok bermain. Pragmatisme berlebihan menjadikan elite politik yang berkuasa cenderung menggandeng kelompoknya sendiri, alias politik kekuasaan kelompok bermain. Dilemanya, lingkaran bermain ini sering kali tidak cukup merepresentasikan lingkaran keindonesiaan yang kompleks dan besar. Alhasil, lingkaran bermain kecil ini akan sering mengalami guncangan besar dalam pertempuran politik yang besar.
Kelima, bangsa cilukba. Cilukba dikenal sebagai bagian dari puncak permainan menutup atau menyembunyikan dan membuka wajah terhadap anak kecil. Permainan cilukba dalam studi budaya adalah penanda dunia yang serba muncul dan menghilang secara cepat membawa kejutan-kejutan. Oleh karena itu, bangsa cilukba ditandai dengan munculnya elite populer begitu cepat, namun juga langsung menghilang begitu saja dari suatu periode ke periode lainnya.
Bangsa seakan kehilangan sejarahnya, bisa diduga setiap periode pemerintahan, warga seperti harus berpijak pada pijakan baru yang tidak lagi punya masa lampau, alias tidak lagi punya dasar pertumbuhan. Dengan kata lain, elite politik berganti secara cepat dan terus-menerus lebih muda dan muda lagi, namun seakan terlupakan warga seiring bergantinya kekuasaan, menjadikan pasca 1998 kehilangan tokoh sejarah selain status kekuasaannya.
Kelima ciri di atas pada akhirnya melahirkan bangsa yang paradoks: bangsa bekerja vs tanpa nilai strategis, populer vs bersifat sementara, cepat vs tidak komprehensif, terobosan vs kehilangan daya dukung, elite pragmatis vs kehilangan kenegarawanan, kokoh vs penuh fragmentasi, serba berubah vs serba kehilangan, bergantinya elite vs tanpa diingat sejarah, dan seterusnya.
Oleh karena itu, tantangan kabinet Jokowi adalah mengurangi beragam paradoks di atas sekaligus menumbuhkan nilai produktif dari lima ciri bangsa tersebut.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 Maret 2015, di halaman 13 dengan judul "Bangsa Kemasan"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar