Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 14 Maret 2015

Etika Komunikasi di Ruang Publik (SUMBO TINARBUKO)

Atas nama ekonomi bergerak dan pergerakan ekonomi, semua pemilik merek dagang berwujud produk barang ataupun jasa berlomba menginformasikan keberadaannya dengan cara meneriakkan dirinya di ruang publik.

Seluruh lekuk liku ruang publik dan ruang terbuka hijau dijadikan wahana untuk meneriakkan kehebatan merek dagang miliknya. Mereka mengandalkan media iklan luar ruang agar teriakannya menimbulkan titik pantul membahana. Teriakan visual tersebut diyakini memunculkan daya ganggu pada calon konsumen yang dituju.

Pesan verbal dan pesan visual disuguhkan sedemikian ciamik dan komunikatif. Semua diwujudkan dalam rekayasa komunikasi visual demi menyegerakan munculnya gangguan visual di ruang publik.

Sebagai komunikator, pemilik merek dagang yang diwakili para kreator komunikasi visual menebarkan realitas semu. Rekayasa komunikasi visual yang dikonstruksikan seolah nyata di ruang publik. Target sasaran ataupun calon konsumen disentuh sanubari terdalamnya. Mereka dirangsang secara visual untuk mengikuti pesan komersial yang ditebarkan di ruang publik.Atas dasar itu,terbentuklah ideologi: beli dan teruslah membeli.

Bencana sampah visual

Munculnya ideologi semacam itu menyebabkan media iklan luar ruang didogmakansebagai satu-satunya media yang dirasa ampuh. Di dalam media iklan luar ruang ditiupkanlah roh kehidupan untuk menyentuh sanubari target sasarannya. Beragam pesan verbal dan visual ditebarkan di ruang publik. Warna-warna mencolokdan jejeran huruf dalam cetakan besar ditorehkan di kanvas jalanan. Semua itu dilakukan demi menginformasikan keberadaan merek yang dijadikan energi bisnis mereka.

Saat tebaran pesan komersial dari beragam merek dagang tersebut menggurita dan menjajah sebagian besar ruang publik, bencana sampah visual pun mengancam semua warga di kawasan tersebut. Ironisnya, banyak pihak menganggap bencana sampah visual bukanlah bencana.

Asumsi semacam itu didasarkan hukum sebab-akibat. Secara fisik, akibatnya tak memperlihatkan efek fisik dari bencana sampah visual. Pemerintah juga menganggap sepi akan bahaya sampah visual. Bagi mereka, keberadaan iklan luar ruang adalah obyek pajak yang sangat besar. Ia diposisikan sebagai pahlawan devisamenyumbang pundi-pundi pendapatan asli daerah.

Sejak otonomi daerah diundangkan dan dijadikan rujukan pengelolaan pendapatan dan belanja daerah, obyek pajak satu-satunya apologi untuk menggenjot pendapatan asli daerah. Pajak reklame atau pajak iklan luar ruang adalah salah satu sumber yang harus digenjot dan dioptimalkan. Celakanya, aktivitas berburu rente pajak reklame tidak diikuti dengan aturan mengikat yang mengatur penempatan dan pemasangan media iklan luar ruang.

Dampak visual atas nama mengejar pendapatan asli daerah,izin reklame pun diselenggarakan dengan sangat permisif. Pejabat publik yang mengurusi masalah izin reklame tidak pernah mengontrol izin pemasangan yang tertera di surat izin. Realitas sosial iklan luar ruangyang dipasang di ruang publik tidak berbanding lurus dengan izin reklame yang diizinkan. Sementara itu, sudah menjadi rahasia umum ketika pihak pemohon izin dan pemasang iklan luar ruang sering menjalankan kenakalan dan kecurangan visual di ruang publik.

Modus operandinya, antara obyek iklan luar ruang yang dipasang dan penanda izin reklame tidak berbanding lurus. Dalam banyak kasus, pemasangan iklan luar ruang tidak mengurus izin reklame. Pola dan cara pasang iklan luar ruang cenderung menyalahi aturan yang ada.

Para pelaku cenderung melanggar kesepakatan bersama yang biasa disebut dengan lima sila sampah visual. Pertama, iklan luar ruang tak boleh dipasang di tiang telepon, tiang listrik, tiang rambu lalu lintas, dan tiang lampu penerangan jalan. Kedua, iklan luar ruang tak boleh dipasang dan dipakukan di batang pohon. Ketiga, iklan luar ruang tak boleh ditancapkan di trotoar serta ditanam di taman kota dan ruang terbuka hijau. Keempat, iklan luar ruang tidak boleh dipasang di jembatan dan bangunan bersejarah. Kelima, iklan luar ruang tidak boleh ditalikan dan atau dipakukan di batang pohon.

Kota yang ramah

Ketika bencana sampah visual tidak diatasi, kota tersebut dianggap sebagai kota yang tidak memiliki etika visual saat berkomunikasi di ruang publik. Kemudian, ramah tidaknya sebuah kota bagi wisatawan dan warganya salah satu indikasinya dapat dilihat sejauh mana pemerintah dan pejabat publik mampu menghilangkan atau minimal menekan tebaran teror visual.

Secara psikologis, teror visual berbentuk sampah visual iklan luar ruang yang ditebarkan sembarangan di ruang publik menyebabkan kemerdekaan visual di ruang publik terbelenggu.

SUMBO TINARBUKO, PEMERHATIBUDAYA VISUAL; DOSEN KOMUNIKASI VISUAL ISI YOGYAKARTA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 Maret 2015, di halaman 6 dengan judul "Etika Komunikasi di Ruang Publik".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger