UU ini sejak awal proses penyusunannya telah digugat oleh masyarakat sipil karena dinilai merugikan kehidupan masyarakat secara sosial-ekonomi. Hal ini tidak lepas dari paradigma yang mendasari substansi UU yang sarat dengan pendekatan pasar untuk pengelolaan sumber daya air yang merupakan kebutuhan pokok bagi kehidupan manusia.
Pemerintah sebagai representasi negara, yang seharusnya bertanggung jawab menyediakan akses bagi publik, justru menyerahkan pengelolaannya kepada pihak swasta yang berpedoman mencari untung sebesar mungkin dengan memberi akses sumber daya air kepada siapa pun yang "mampu" membayar. Dengan demikian, orientasi dan efisiensi pengelolaan air bukan dimaksudkan untuk memberikan subsidi bagi masyarakat miskin yang tak mampu membayar, melainkan semata demi kepentingan meraih keuntungan sebanyak mungkin.
Penswastaan
Penswastaan pengelolaan air (bersih) dimulai sejak era Orde Baru. Setidaknya ada tiga perusahaan swasta asing mendapat konsesi mengelola air di sejumlah kota. Pada 1998, misalnya, PAM Jaya memberikan konsesi selama 25 tahun kepada Lyonnaise dan Thames untuk mengelola air bersih di Jakarta, mulai dari pengoperasian, pemeliharaan, hingga penetapan dan penarikan harga. Konsesi pengelolaan air diberikan PDAM Kota Batam kepada Biwater dan PDAM Kota Sidoarjo kepada United Water untuk hal yang sama.
Penswastaan air bersih sebagaimana tertuang dalam UU No 7/2004 sebagian besar berkat "campur tangan" Bank Dunia dalam reformasi sektor air, yang bertujuan mendorong keterlibatan sektor swasta dalam pengelolaan dan komersialisasi sumber daya air. Menurut Bank Dunia, dalam makalah berjudul "Improving Water Resources Management" (1992), ketersediaan air secara murah atau gratis sangat tidak ekonomis dan tidak efisien. Karena itu, masyarakat harus membayar atas air yang digunakan. Selain itu, terutama warga yang miskin butuh berbagai pilihan agar mendapatkan pelayanan sesuai dengan kemampuannya membayar.
Bank Dunia menganggap sektor publik terlampau banyak memanfaatkan air bersih, bahkan 40-50 persen dari air yang dialokasikan untuk sektor itu hilang karena kebocoran dan pencurian. Hal ini dinilai membebani keuangan negara, sekaligus mengurangi kemampuan pemerintah dalam memperluas pelayanan air bersih ke wilayah kumuh dan pinggir perkotaan. Karena itu, pilihan untuk mengelola sumber daya air secara efektif adalah menjadikan air sebagai komoditas ekonomi dan harus dikelola swasta agar dapat mengembalikan biaya operasi, memperbaiki pelayanan, dan meningkatkan akses air bersih kepada masyarakat lebih luas.
Namun, penswastaan pengelolaan air bersih di sejumlah negara justru mengalami kemunduran. Laporan The Transnational Institute tahun 2010, misalnya, memperlihatkan, 180 kota di 35 negara telah mengembalikan sistem pengelolaan air bersih di bawah kontrol negara (baca: pemerintah). Bahkan, International Finance Corporation (IFC) yang banyak membiayai program penswastaan air bersih mengakui, dari 85 program yang disusun pada 2007, hanya 22 di antaranya yang berjalan pada 2013. Bahkan, 63 program yang dibiayai IFC sendiri telah gagal dan sulit berkembang secara ekonomis.
Pasca putusan MK
Meski logikanya benar, penswastaan sumber daya air dalam praktik tampak tidak berjalan efektif dan cenderung gagal. Hal itu disebabkan penentuan dan penerapan serta kenaikan tarif air bersih selalu tak diimbangi kualitas dan pelayanan yang lebih baik. Belum lagi hasil keuntungan digunakan bukan untuk memperluas akses air bersih bagi warga miskin dan warga yang tinggal di daerah kumuh dan pinggir kota.
Pasca putusan MK, pemerintah dituntut untuk merumuskan kebijakan sumber daya air yang tepat, terutama dalam memenuhi hak masyarakat atas air. Dewasa ini diperkirakan 32,2 persen penduduk Indonesia belum punya akses air bersih. Umumnya mereka mendapatkan air dari sungai yang terpolusi, air tanah yang terkontaminasi, atau air yang dibeli dengan harga mahal dari pedagang air. Air tak ubahnya minyak yang sulit diperoleh dan mahal. Sebagai contoh, harga 1 meter kubik air bersih di Jakarta sekitar Rp 14.500, termahal di tingkat ASEAN.
Kebijakan sumber daya air di masa depan harus memprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap warga, sebesar 20 liter air bersih per hari. Kebutuhan ini harus dipenuhi secara murah dan mudah. Kualitas dan kuantitasnya juga harus terjamin sekalipun dalam kondisi kemarau atau krisis air.
Hal lain yang juga penting adalah penyediaan air untuk kepentingan umum, seperti rumah sakit, rumah ibadah, MCK umum, dan tempat-tempat yang memiliki nilai atau bersifat memperkuat hubungan sosial antar- warga. Setelah itu, baru air dialokasikan untuk kepentingan pembangunan terkait dengan tujuan ekonomi, misalnya pertanian, listrik, dan industri (World Water Council, 2006).
Tanpa memprioritaskan dan mengutamakan hak warga-terutama warga miskin dan tinggal di pinggiran-atas air dalam aturan perundangan tentang sumber daya air di masa depan, janji Presiden Joko Widodo bahwa pembangunan harus sepenuhnya berorientasi pada manusia dan mendengar dari pinggiran hanya menjadi retorika belaka.
SUHARDI SURYADI
DIREKTUR PROGRAM PRISMA RESOURCE CENTRE
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Maret 2015, di halaman 6 dengan judul "Hak atas Air Pasca Putusan MK".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar