Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 09 Maret 2015

Hakim Tunggal yang Gagap Hukum (ADI ANDOJO SOETJIPTO)

Keputusan hakim Sarpin Rizaldi yang memutus perkara gugatan praperadilan yang diajukan Komjen Budi Gunawan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengundang kehebohan di kalangan pengamat hukum.

Hal ini mungkin karena publik menilai putusan itu dibuat oleh Sarpin seorang diri sebagai hakim tunggal, sedangkan pengalamannya masih kurang. Penilaian publik ini mungkin ada benarnya. Misalnya pengalaman untuk membaca yurisprudensi Mahkamah Agung dan petunjuk-petunjuknya. Pengalamannya pun pasti belum memadai sebagai seorang hakim yang mumpuni, dalam arti berpikiran matang dan sebagaimana yang sering saya katakan "memiliki indera keenam". Seorang hakim adalah seorang yang terpelajar dan berpengalaman disertai memiliki indera keenam yang membuat perbandingan dengan kejadian-kejadian yang sama di masa lalu sampai pada suatu titik pandangan yang dijadikan analisis berikutnya.

Namun, hakim yang kurang pengalaman itu dipercaya oleh UU No 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk mengadili sebagai hakim tunggal dalam memeriksa gugatan praperadilan. Mengapa demikian? Karena masalah yang jadi objek praperadilan dianggap tak sukar untuk dibuktikan. Selain itu, wewenang pengadilan negeri yang dilakukan oleh praperadilan ini hanya dimaksudkan sebagai wewenang pengawasan secara horizontal dari pengadilan negeri.

Dangkal

Dari kenyataan ini saja, kita sudah tidak bisa berharap banyak terhadap mutu putusan itu kalau sampai didapati banyak kesalahan di dalamnya. Pertama, perkara itu mulai dari diperiksa sampai diputus hanya memakan waktu tujuh hari dengan mendengarkan empat saksi dari pemohon dan satu saksi dari termohon. Lalu, hakim membuat putusan yang mempertimbangkan semua dalil kedua belah pihak. Belum lagi membuat pendapatnya sendiri. Maka, maklumlah jika mutu putusannya hanya berdasarkan pendapatnya sendiri tanpa referensi yang memadai.

Karena itu, dia masuk ke substansi masalahnya dengan pertimbangan sangat dangkal. Misalnya, hakim Sarpin membaca yurisprudensi MA tanggal 29 Desember 1983 No 275 K/Pid/1983 yang mengatakan bahwa tindak pidana korupsi harus diukur berdasarkan asas-asas hukum tak tertulis ataupun asas-asas yang bersifat umum menurut kepatutan masyarakat.

Bahwa menurut kepatutan dalam masyarakat, khususnya dalam perkara tindak pidana korupsi, jika seorang pegawai negeri menerima fasilitas yang berlebihan serta keuntungan lain dari seseorang lain dengan maksud agar pegawai negeri itu menggunakan kekuasaan atau wewenangnya yang melekat pada jabatannya secara menyimpang, hal itu sudah merupakan "perbuatan yang melawan hukum". Sebab, menurut kepatutan, perbuatan itu merupakan perbuatan yang tercela dan menusuk perasaan hati masyarakat banyak.

Hal lain yang membuat putusan Sarpin tak bisa diterima publik adalah dia telah tidak membaca petunjuk MA yang banyak itu, khususnya tentang masalah praperadilan. Ke depan, hendaknya ditunjuk hakim yang benar-benar mengerti, sedikitnya tentang hukum, dengan banyak membaca buku ilmu hukum, rajin membaca referensi dari buku-buku asing, membaca yurisprudensi, dan mengikuti petunjuk MA.

ADI ANDOJO SOETJIPTO MANTAN KETUA MUDA MA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Maret 2015, di halaman 6 dengan judul "Hakim Tunggal yang Gagap Hukum".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger