Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 11 Maret 2015

Kemerosotan Politik (M ALFAN ALFIAN)

Belakangan ini kita mudah menemukan contoh peristiwa yang berkembang dalam dinamika kehidupan bangsa yang mengarah kepada kemunduran atau kemerosotan politik (political decay).
DIDIE SW

Konflik-konflik internal partai politik sebagai puncak ekses oligarki politik tentu juga merupakan gejala kemerosotan politik. Begitu pun konflik antarlembaga penegak hukum yang berekses disfungsi kelembagaan dan ketidakpastian hukum. Konflik antarelite dan antarlembaga tersebut tentu sangat memprihatinkan karena pemulihannya memerlukan jalan yang panjang dan tidak mudah.

Pembangunan politik

Kemerosotan politik merupakan lawan dari pembangunan politik (political development), istilah atau konsepsi yang berkembang setelah Perang Dunia II. Tema pembangunan politik telah menjadi fokus perhatian para ilmuwan politik Amerika Serikat pada zamannya, mengalami perkembangan, kritik, bahkan antitesis dengan hadirnya teori dependensia yang marak pada 1970-an.

Menengahi itu, sempat hadir pula teori sistem dunia. Kendati demikian, perkembangan itu tidak memengaruhi konteks hakikat pembangunan politik sebagai lawan dari kemerosotan politik.

Beberapa tema pokok dalam pembangunan politik adalah stabilitas politik dan tentu juga keamanan. Ini diperlukan untuk mendorong produktivitas pembangunan di semua bidang, termasuk terutama ekonomi. Memang, dalam konteks pembangunan ekonomi, fokus perhatian utamanya pertumbuhan ekonomi.

Bagaimanapun, pertumbuhan ekonomi masih menjadi indikator penting untuk mengetahui perkembangan ekonomi suatu bangsa. Memang, kita tahu bahwa terfokus pada aspek pertumbuhan saja tidak arif mengingat kesejahteraan suatu bangsa lebih ditentukan pada aspek pemerataan, bukan ketimpangan pembangunan.

Tentang perkembangan ekonomi ini, semakin terasa bahwa masyarakat ekonomi tidak dapat berdiri sendiri. Dalam wacana konsolidasi demokrasi, mereka membutuhkan iklim politik demokratis yang stabil, kepastian hukum, dan keamanan yang baik. Masyarakat ekonomi membutuhkan masyarakat politik hingga civil society yang kuat. Maka, ketika konflik terjadi, kalau bukan marak, di ranah elite politik dan eskalasinya masif, tentu semua itu berdampak ke ranah ekonomi.

Pembangunan politik juga menyinggung partisipasi politik yang pada masa kini berbeda dengan masa lalu. Sekarang era multipartai, di mana partai-partai politik memiliki peran yang demikian strategis. Berpolitik kini lebih cair ketimbang di era ketika politik terfragmentasi secara ideologis (Orde Lama) atau ketika depolitisasi diterapkan (Orde Baru). Perilaku politik di zaman kita juga telah mengalami perkembangan yang berbeda, yakni tampak lebih pragmatis.

Tentu perilaku demikian tidak dapat dilepaskan dari sistem politik. Sistem demokrasi politik masa kini yang banyak diimplementasikan melalui pemilihan langsung, menandai suatu era kontestasi politik yang pada akhirnya membentuk perilaku politiknya sendiri. Sistem politik juga memungkinkan pergeseran kekuatan-kekuatan politik, termasuk dalam konteks dominasi aktor-aktor politik.

Demokrasi liberal dalam formatnya sekarang ini, pada kenyataannya membuat elite pengusaha tampil dominan, ketimbang elite intelektual, militer, aktivis, dan teknokrat di masa lalu. Ini dapat dipahami mengingat sistem politik kita memberi peluang lebar bagi elite-elite yang didukung kekuatan modal besar untuk berkuasa.

Peran pemimpin

Pilihan, peran, dan interaksi elite politik, terkhusus elite kekuasaan (ruling elites) selama ini diyakini memainkan peran yang cukup menentukan dinamika dan arah pembangunan politik. Belakangan ini, terasa adanya pembelahan penting di ranah elite kekuasaan, yang justru bukan lagi dikaitkan dengan konteks ideologis atau teknokratis, tetapi elite partai politik dan nonpartai politik.

Presiden yang hadir dari kontestasi populer dituntut untuk pandai mengakomodasi berbagai jenis elite itu dalam satu titik keseimbangan. Ini tidak mudah, apalagi kalau presiden terbebani oleh kultur neo-patrimonialisme di satu sisi dan kultur pragmatisme politik di sisi lain.

Membangun konsensus itulah yang menjadi hal penting bagi pemimpin politik mana pun. Rapuhnya jalan menuju konsensus tentu merupakan potret buruk dalam pembangunan politik. Apalagi, apabila saluran alternatif dari rapuhnya lembaga-lembaga politik tidak ditemukan. Hal ini bisa memicu kekacauan politik, bahkan dalam terminologi yang lebih ekstrem adalah revolusi. Revolusi merupakan hal yang lazim didiskusikan dalam pembangunan politik, menandai adanya frustrasi sosial dan kebuntuan saluran politik karena pembusukan kelembagaan.

Di masa yang ditandai oleh menguatnya kultur hedonisme ini, tidak mudah bagi pemimpin menciptakan suatu, meminjam konsep teori pilihan rasional, struktur insentif yang mampu menjamin keseimbangan politik jangka panjang. Hal ini antara lain disebabkan bahwa insentif semakin dimaknai secara terbatas, sekadar sebagai uang dan kekuasaan.

Karisma atau kewibawaan pemimpin susah untuk mewujud ketika populisme kepemimpinan tidak dapat mempertahankan diri dari otentisitas. Keharusan untuk melakukan politik akomodasi terbatas di kalangan elite pendukung multispektrum, sering kali bertentangan dengan kehendak populer massa pendukung. Inilah problem pokok pemimpin populis.

Kompetisi kepentingan

Perilaku elite memang pada akhirnya memengaruhi jalannya kelembagaan. Sistem memang sudah mengatur sedemikian rupa bagaimana seharusnya lembaga-lembaga yang ada berperan sesuai dengan kewenangan. Namun, kompetisi kepentingan elite yang parsial dan jangka pendek membuat lembaga termanipulasi, kalau bukan terpenjara ke dalam konflik-konflik kepentingan elitenya. Karena itu, dapat dipahami manakala yang terjadi kini adalah bukan saja kecenderungan deinstitusionalisasi atau lemahnya kelembagaan, melainkan juga terbajaknya lembaga oleh kepentingan para elitenya. Para elite membuat peran dan fungsi kelembagaan menjadi kabur, kalau bukan lumpuh layuh.

Kalau demikian, mau tidak mau kita perlu membaca lagi wacana modernisasi politik yang menekankan penguatan kelembagaan sesuai dengan diferensiasi kewenangan masing-masing. Karena pilihan sistemnya demokrasi, maka kewenangan-kewenangan itu dilakukan dalam kerangka rasionalitas. Modernisasi ialah rasionalisasi. Sayangnya, dan inilah problem kita dewasa ini, lembaga-lembaga politik, birokrasi, dan hukum tampilkan dalam berbagai hal yang tidak rasional. Kita tengah mengalami krisis kemodernan dalam proses sosial politik. Tentu hal demikian dapat mempercepat proses kemerosotan, apabila tidak terjadi perubahan.

Kemerosotan politik berdampak pada, apa yang pernah disinggung Lee Kuan Yew, defisiensi demokrasi. Intinya, transisi ke arah konsolidasi demokrasi penuh dengan ancaman kegagalan, justru karena para elite tidak siap untuk melakukan proses-proses sosial dan politik secara efisien. Pemerintah mungkin tidak akan jatuh dengan mudah di dalam sistem yang aturan permakzulan presiden demikian ketat. Tetapi, kemerosotan politik ditandai oleh konflik-konflik semipermanen yang membelenggu perkembangan politik dan ekonomi nasional. Ini menandai fase stabilitas politik yang goyah dan juga ketidakpastian hukum yang langka.

Kita perlu mewaspadai gejala-gejala kemerosotan politik. Kendatipun barangkali masih jauh dari bayangan negara gagal (failure state), pekerjaan rumah untuk melakukan penataan kelembagaan oleh para elite yang menumpuk di masa kini, bagaimanapun, membutuhkan konsentrasi dan ikhtiar ke arah konsensus yang rasional dan elegan tanpa melawan kodrat agenda reformasi. Kewibawaan lembaga harus ditegakkan kembali justru dengan menyelesaikan masalah-masalah secara jernih dan tidak manipulatif.

M ALFAN ALFIAN, DOSEN PASCASARJANA ILMU POLITIK UNIVERSITAS NASIONAL, JAKARTA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Maret 2015, di halaman 7 dengan judul "Kemerosotan Politik".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger