Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 11 Maret 2015

Kompleksitas Otonomi (IRFAN RIDWAN MAKSUM)

Otonomi daerah di Indonesia memasuki babak baru dengan ditetapkannya UU No 23/2014 menggantikan UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.

UU tersebut efektif diberlakukan mulai 2015. Kedua UU mengenai pemerintahan daerah di Indonesia tersebut tercatat disahkan di bawah rezim yang dipimpin oleh presiden dari partai yang sama.

Otonomi daerah adalah subsistem dari sistem pemerintahan sebuah negara yang juga menjadi bagian dari sistem yang lebih luas. Kompleksitas sistem tersebut amat berpengaruh pada kesuksesan mengelolanya. Dan, pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla akan efektif mengelolanya jika mampu mengarahkan kompleksitas yang melingkupi sistem dan kebijakan otonomi daerah di bawah pemerintahannya.

Segi-segi kompleksitas

Kompleksitas otonomi disumbang oleh segi-segi yang melingkupinya. Segi-segi tersebut, antara lain, pertama, segi hukum. Hukum otonomi adalah segi yang dipenuhi oleh warna kompleksitas yang besar. Kompleksitas hukum otonomi selain disumbang oleh hukum nasional juga oleh hukum lokal. Bahkan, hukum otonomi di beberapa tempat di Indonesia mengandung unsur hukum lokal yang berada di luar hukum negara, yakni hukum adat setempat.

Kedua, politik. Kompleksitas politik yang memengaruhi jalannya otonomi daerah lebih banyak didominasi oleh kompleksitas politik lokal. Namun, politik nasional sering kali jadi variabel antara. Politik nasional bahkan seolah jadi prasyarat membaiknya politik lokal. Artinya, politik lokal akan membaik jika politik nasional mampu diperbaiki. Oleh karena itu, wajar masyarakat Indonesia mendambakan Jokowi sebagai pemimpin nasional agar mampu mengatasi segala masalah lokal yang begitu beragam di Indonesia.

Ketiga, birokrasi. Kompleksitas birokrasi justru sebaliknya: birokrasi nasional-lah yang lebih banyak berperan dalam kesuksesan mengelola kompleksitas otonomi daerah. Birokrasi nasional harus sepenuhnya mendukung otonomi daerah. Meski akhirnya manajemen pemerintahan di daerah dilaksanakan oleh birokrasi lokal, birokrasi nasional yang setengah hati dalam otonomi mampu membuat otonomi daerah gagal. Birokrasi nasional harus mampu memberikan teladan bagi cara kerja birokrasi lokal.

Dalam hal ini sistem pembagian urusan jadi tumpuan. Dengan kata lain, kompleksitas birokrasi disumbang oleh sistem pembagian urusan. Pembagian urusan yang tidak clear-cut akan membawa kompleksitas birokrasi dalam kebijakan otonomi daerah, yang dapat bermasalah pada kemudian hari.

Keempat, sosial-budaya. Kompleksitas sosial-budaya menyangkut keadaan masyarakat setempat dan sistem nilai yang berkembang. Soal ini pertama-tama akan dihadapi oleh struktur formal dalam pemerintahan daerah. Pertanyaannya, tidakkah Indonesia sangat beragam? Apakah hukum nasional mampu jadi tumpuan keberagam itu? Keberagaman dan kreativitas lokal yang tidak mampu tertampung dengan baik dalam sistem hukum nasional kelak membawa keterbatasan jalannya otonomi daerah itu sendiri.

Keempat, kompleksitas itu saling terkait. Kompleksitas itu berada dalam sistem negara Republik Indonesia. Kompleksitas otonomi daerah di Indonesia adalah produk dari kompleksitas negara dan bangsa Indonesia yang berbentuk republik dengan sistem negara kesatuan.

Bentuk dan sistem pemerintahan negara RI adalah alat mencapai cita-cita bangsa Indonesia. Oleh karena itu, kompleksitas yang melingkupinya adalah kompleksitas dari alat pencapaian cita-cita bangsa, pemerintahan Jokowi-Kalla tidak mungkin efektif jika tak mampu memahami kompleksitas yang ada.

Multi-pendekatan

Kompleksitas tersebut tidak mungkin hanya didekati secara kekuasaan dan politis. Kompleksitas itu akan terkendali jika didekati dengan pendekatan sistemik. Selain sistemik, juga cepat, akurat, dan lugas.

Kompleksitas otonomi daerah, jika diselidiki secara sistemik, sesungguhnya bermuara pada pertanyaan dasar: bingkai sistem dasar otonomi daerah seperti apakah Indonesia itu? Ini pekerjaan rumah Jokowi-Kalla yang harus diyakini terlebih dahulu. Setelah itu, Jokowi-Kalla dapat beraksi cepat, akurat, dan lugas.

Bingkai sistem dasar otonomi daerah kita adalah dianutnya sistem wakil pemerintah pada gubernur. Berbeda dengan masa Soeharto, sekarang—sejak bergulirnya reformasi—wakil pemerintah (pusat) hanya sampai gubernur. Namun, kemudian, UU No 23/2014 menyambungkan kembali tugas wakil pemerintah kepada bupati/wali kota dengan istilah "tugas-tugas pemerintahan umum" tanpa istilah sebagai wakil pemerintah.

Setelah Jokowi-Kalla memahami dianutnya sistem wakil pemerintah ini secara mendalam, berikutnya bergerak cepat, akurat, dan lugas pada sistem pemilihan kepala daerah yang tepat, sistem pembagian urusan, keuangan daerah, manajemen personel, dan pengawasan peraturan daerah. Juga soal kompleksitas sistem pengawasan manajemen kebijakan di daerah, sistem pemekaran, sistem perencanaan daerah, dan sistem pelayanan publik di daerah yang kondusif.

Sistem bingkai dasar otonomi daerah adalah alat Jokowi-Kalla melakukan pengendalian pemerintahannya agar efektif meraih tujuan-tujuan nasional yang diinginkan bangsa Indonesia. Dengan demikian, sistem hukum, politik, birokrasi, dan sosial-budaya dapat dikelola dengan lebih terkendali, baik di level nasional maupun di setiap daerah di seluruh Indonesia. Semoga kompleksitas otonomi daerah menjadi lebih terarah.

IRFAN RIDWAN MAKSUM, GURU BESAR TETAP ILMU ADMINISTRASI; KETUA PROGRAM PASCASARJANA ILMU ADMINISTRASI UNIVERSITAS INDONESIA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Maret 2015, di halaman 6 dengan judul "Kompleksitas Otonomi".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger