Kasus pemolisian kepala SMA Negeri 3 Jakarta oleh orangtua siswa pelaku penganiayaan pelajar mesti dibaca sebagai tanda bahaya bagi perlindungan profesi guru dan keberlanjutan pendidikan yang ramah anak pada masa depan!
Kriminalisasi pendidik tidak pernah boleh terjadi di negeri yang sangat serius mau mencerdaskan anak-anak bangsa. Guru sebagai pendidik anak-anak bangsa mesti dilindungi profesinya dan didukung agar dapat menciptakan sekolah yang ramah anak dan anti kekerasan.
Tiga refleksi
Dari kasus SMA Negeri 3 Jakarta, kita bisa merefleksikan tiga hal penting agar kejadian serupa tak terjadi lagi.
Pertama, perlunya komunikasi yang baik antara lembaga pendidikan dan orangtua. Pemidanaan seorang kepala sekolah yang telah melakukan proses gelar perkara bersama dewan guru dan pengawas sekolah menunjukkan adanya ketidakpahaman publik, terutama orangtua siswa, terkait tugas dan profesi seorang pendidik. Lembaga pendidikan kita mengalami kegagalan komunikasi antara orangtua dan pihak sekolah dalam rangka pendidikan anak-anak yang dipercayakan ke lembaga pendidikan.
Kedua, ketidaksiapan birokrasi dan instansi lebih tinggi dalam mendukung dan membela kemartabatan profesi guru. Intervensi birokrasi—dalam hal ini kepala dinas—yang ikut campur urusan skorsing yang jadi kewenangan unit sekolah, bahkan cenderung mempersalahkan kepala sekolah dan menafikan keputusan dewan guru yang memberikan skorsing, jelas lebih mengutamakan kekuasaan ketimbang menjaga prinsip-prinsip moral pendidikan yang seharusnya ditegakkan. Kepala dinas mestinya mendukung sekolah yang ingin menciptakan sekolah ramah anak dan anti kekerasan, terlebih menghadapi kasus kekerasan yang sudah membudaya.
Ketiga, pembelajaran publik tentang hukum yang melindungi profesi guru. Proses hukum yang sudah berjalan harus diteruskan karena setiap warga negara memiliki persamaan hak di depan hukum. Hukumlah yang menjamin keadilan dan kebenaran sebuah perkara meskipun ini akan membawa situasi pendidikan kita pada sebuah dilema.
Di satu sisi, ketika pihak yang berwenang tetap memproses persoalan ini sebagai delik hukum pidana, proses hukum ini akan menjadi intimidasi bagi para pendidik berintegritas untuk menegakkan aturan sekolah guna memutus rantai kekerasan dalam pendidikan. Di lain pihak, proses ini harus tetap diteruskan agar publik belajar tentang bagaimana mereka dapat menghargai dan melindungi profesi guru yang memiliki aturan hukum yang melindungi martabat profesinya.
Perlindungan profesi
Penegak hukum dituntut untuk mampu mempergunakan pasal-pasal yang mengatur dan melindungi profesi guru, seperti Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Terutama Pasal 14, yang menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual; serta memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan.
Kasus pengaduan orangtua siswa atas kepala sekolah yang bersama dewan guru ingin menegakkan peraturan sekolah bisa menjadi momentum edukatif, baik bagi penegak hukum, orangtua, maupun birokrasi dalam meretas kekerasan dalam dunia pendidikan.
Kekerasan dalam dunia pendidikan tidak akan berhenti jika para pelaku kekerasan dibiarkan berkeliaran di lingkungan sekolah tanpa pernah memperoleh sanksi. Sekolah dalam artian tertentu adalah sebuah negara kecil, tempat hukum dan peraturan mesti ditegakkan agar tidak terjadi pelanggaran terhadap hak orang lain. Ironisnya, para pendidik sering kali belum memahami bahwa impunitas dalam dunia pendidikan justru akan membuat situasi kekerasan dalam pendidikan tidak tersentuh. Membiarkan pelaku kriminalitas, seperti penganiayaan dan atau mengangkangi aturan sekolah, jelas bukan sebuah proses pendidikan yang baik.
Komunikasi intensif
Profesi guru akan jadi semakin bermartabat jika publik, terutama orangtua, menghargai jerih payah lembaga pendidikan yang ingin memutus rantai kekerasan di dalam dunia pendidikan. Orangtua dan sekolah mestinya lebih intensif membangun komunikasi satu sama lain sehingga salah pengertian tentang proses pendidikan tidak terjadi lagi.
Kekerasan dalam dunia pendidikan tak akan berhenti jika tidak ada dukungan dari pimpinan. Ini berarti, pejabat di lingkungan pendidikan, seperti pengawas, kepala dinas, dan menteri, harus memiliki suara yang sama dan konsisten dalam menegakkan peraturan. Jika seorang kepala sekolah yang menegakkan aturan untuk memutus rantai kekerasan dalam dunia pendidikan justru diancam dicopot dari jabatannya oleh kepala dinas, kiranya ini menjadi lonceng kematian bagi terciptanya lingkungan sekolah yang ramah anak.
Kita tidak boleh menganggap bahwa kasus kekerasan yang sudah membudaya di sekolah hanya kasus kecil yang perlu diselesaikan di tingkat sekolah. Apalagi menganggap ini sebagai urusan pribadi individu yang terlibat. Urusan kekerasan yang sudah membudaya di sekolah hanya bisa diselesaikan jika ada kerja sama yang intensif antara orangtua, aparat penegak hukum, dan pemimpin sekolah.
Kita membutuhkan orangtua, polisi, kepala sekolah, dan birokrat yang memiliki integritas moral. Tanpa integritas moral, mustahil kekerasan dalam pendidikan akan terselesaikan, terlebih lagi jika para guru pun bisa dengan mudah dipidanakan justru ketika harus menegakkan dan melaksanakan tugasnya, tentulah ini akan menjadi lonceng kematian bagi setiap usaha memutus rantai kekerasan di dalam lingkungan pendidikan.
DONI KOESOEMA A, PEMERHATI PENDIDIKAN
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Maret 2015, di halaman 7 dengan judul "Melindungi Profesi Guru".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar