Seperti banyak diberitakan media massa, hingga saat ini masih terjadi pro dan kontra di kalangan nelayan menanggapi dikeluarkannya Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan Nomor 2/Permen-KP/2015. Permen yang lebih dikenal nelayan dengan sebutan Permen Cantrang itu berisi larangan penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela (
Cantrang merupakan salah satu nama alat penangkapan ikan yang banyak digunakan nelayan. Alat ini termasuk dalam jenis pukat tarik berkapal (
Mereka yang pro terhadap peraturan tersebut berpendapat bahwa penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela dan pukat tarik oleh para nelayan di wilayah pengelolaan perikanan negara RI telah mengakibatkan penurunan sumber daya ikan dan mengancam kelestarian lingkungan sumber daya ikan. Untuk mencegah semua itu, perlu dilakukan pelarangan penggunaan alat penangkapan ikan dari jenis-jenis tersebut.
Adapun nelayan yang kontra berpendapat bahwa pelarangan alat penangkapan ikan dari jenis cantrang merupakan petaka bagi mereka. Hal itu disebabkan sebagian besar nelayan di wilayah pesisir pantai utara (pantura) Jawa mengandalkan cantrang untuk mempertahankan hidup mereka. Pelarangan cantrang sebagai alat tangkap ikan akan membuat dapur mereka tidak mengebul.
Harus dicegah
Banyak referensi menyebutkan bahwa aktivitas penangkapan ikan yang tidak memperhatikan kelestarian sumber daya alam pesisir dan lautan juga memicu peningkatanwarga miskin di wilayah tersebut. Untuk itu, agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan, aktivitas manusia yang berpotensi merusak kelestarian sumber daya ekosistem terumbu karang—baik langsung maupun tak langsung—harus dicegah.
Pada 1995, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) telah mengeluarkan konvensi Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Saat ini, Indonesia termasuk salah satu negara yang telah meratifikasi konvensi tersebut. Di dalam konvensi itu terdapat sembilan karakteristik alat penangkapan ikan ramah lingkungan.
Sembilan karakteristik tersebut adalah (1) mempunyai selektivitas tinggi terhadap sasaran; (2) tidak merusak habitat; (3) menghasilkan ikan yang berkualitas tinggi; (4) tidak membahayakan nelayan; (5) produksi tidak membahayakan konsumen; (6) hasil tangkapan sampingan (
Memang, sehari setelah dilantik oleh Presiden Joko Widodo menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti langsung menyatakan perang terhadap praktik
Bertahap
Hanya beberapa hari setelah menjabat, banyak regulasi telah dikeluarkan oleh Susi Pudjiastuti. Tidak sedikit di antara regulasi tersebut kemudian menuai kontroversi dari para pemangku kepentingan.
Bukan hanya Permen Cantrang yang mendapat penolakan luas dari para nelayan. Sebelumnya, Permen Nomor 57 Tahun 2014 tentang Pelarangan Alih Muatan di Tengah Laut (
Menyikapi pendapat pro dan kontra terhadap peraturan dan regulasi ini, semua pihak dituntut untuk bertindak secara arif dan bijaksana. Bagaimanapun, perilaku destruktif nelayan dalam menangkap ikan sangat dipengaruhi oleh faktor ekonomi yang membelit sebagian besar entitas nelayan. Untuk itu, implementasi dari peraturan ini harus dilakukan secara bertahap dan terencana dengan baik.
Solusi dari permasalahan ini juga harus dilakukan secara menyeluruh dan menyentuh substansi dan akar permasalahan, yaitu kemiskinan. Upaya pengentasan nelayan dari kemiskinan antara lain dilakukan melalui diversifikasi usaha dengan memberikan pelatihan usaha ekonomi produktif di luar usaha pokok menangkap ikan.
Pemberian stimulans modal sangat dibutuhkan untuk memulai usaha tersebut, termasuk bantuan modal untuk penggantian alat tangkap yang ramah lingkungan. Akses kredit mikro bagi perempuan nelayan juga diyakini dapat membantu mengentaskan keluarga nelayan dari kubangan kemiskinan.
Kajian yang pernah dilakukan oleh Bank Dunia, beberapa tahun lalu, terhadap pemberian kredit perbankan kepada kaum perempuan sampai pada kesimpulan bahwa kaum perempuan merupakankreditur yang sangat bagus. Keberhasilan Proyek Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K) untuk kegiatan ekonomi produktif seperti pernah diinisiasi Departemen Pertanian hingga akhir 1980-an perlu dicontoh dan dihidupkan kembali.
Karena masalah ini menyangkut isi perut jutaan nelayan beserta keluarganya, pemberlakuan Permen Cantrang harus dipertimbangkan secara matang. Selain dibutuhkan biaya cukup besar, penggantian alat tangkap juga membutuhkan waktu dan keahlian yang memadai. Di sinilah kearifan kita sedang diuji.
TOTO SUBANDRIYO, KEPALA DINAS KELAUTAN PERIKANAN DAN PETERNAKAN KABUPATEN TEGAL
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Maret 2015, di halaman 7 dengan judul ""Cantrang" dan Kearifan Kita".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar