Momentum itu terkait efek dua peristiwa sadis yang dilakukan kelompok tersebut: pembakaran hidup-hidup seorang pilot Yordania, dan penyembelihan massal warga Mesir di Libya. Kedua peristiwa amat sadis itu sengaja diunggah ke media dan disebarluaskan, tentu dengan tujuan menebar teror terhadap musuh-musuh mereka dan meyakinkan seluruh pengikutnya bahwa mereka masih "ada".
Tindakan barbar itu ternyata justru kontra produktif dan menimbulkan efek yang mungkin tak diperhitungkan secara cermat oleh kelompok itu sendiri. Efek itu adalah penguatan drastis sentimen anti Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) di kalangan masyarakat Timur Tengah dan dunia, yang pada gilirannya mendesak organ-organ negara yang selama ini seperti diam untuk bergerak cepat melakukan ofensif militer terhadap mereka.
Yordania segera melakukan ofensif besar-besaran ke berbagai target kelompok itu. Mesir juga melakukan hal yang sama, melakukan serangan lintas negara kurang dari 24 jam setelah video pemenggalan rakyatnya dikonfirmasi kebenarannya. Kedua tindakan ofensif itu diyakini membawa pengaruh signifikan dalam mempercepat penghancuran kelompok yang mulai kocar-kacir di hampir semua front ini. Agenda penghancuran NIIS di Mosul melalui Tikrit saat ini sedang memperoleh perhatian paling besar.
Mesir dan Yordania bersama negara-negara Barat yang warganya juga menjadi korban kesadisan kelompok ini terus menggalang kekuatan untuk menuntaskan penghancuran NIIS. Keterlibatan Mesir secara intensif memiliki pengaruh sangat besar terhadap upaya ini. Kesediaan negara-negara kawasan untuk terlibat langsung dalam perang melawan NIIS sepertinya terus menguat.
Pembangkangan internal anggota ini juga banyak diwartakan. Pembangkangan itu bisa jadi dikarenakan apa yang mereka temui di sana ternyata sangat berbeda dari yang mereka bayangkan tentang "keagungan dan kemuliaan khalifah Islam". Mereka mungkin juga tidak tahan dengan kekejian yang mereka lakukan sendiri sebab, bagaimanapun, mereka dulunya adalah manusia, bukan mesin atau binatang.
Momentum itu diperkuat dengan melemahnya harga minyak. Kelompok ini tampaknya memiliki ketergantungan dari penjualan minyak mentah untuk menyuplai logistik mereka. Turunnya harga minyak secara drastis jelas akan mengurangi ketahanan logistik mereka. Apalagi, tak seluruh anggota NIIS bergabung ke kelompok itu karena faktor ideologis. Para kombatan dan pasukan bunuh diri mereka hampir dipastikan memiliki motif ideologis yang kuat. Tetapi, para petinggi dan pimpinan menengah cenderung lebih rasional.
Menurut kesaksian tokoh-tokoh yang keluar dari kelompok itu, dan sebagian diunggah di laman organisasi Islam penentang mereka di Tanah Air, motif mereka bergabung dengan NIIS sangat beragam, termasuk karena motif ekonomi. Oleh karena itu, jatuhnya harga minyak, sumber pendapatan utama mereka, tentu berpengaruh signifikan.
Hambatan
Dengan dua kekejian NIIS di atas dan rangkaian kekejian sebelumnya telah menyatukan perasaan masyarakat Timur Tengah. Bahwa mereka punya musuh bersama dan itu ada di depan mata, yaitu ekstremisme dan radikalisme NIIS. Para pemimpin kawasan juga sepakat dengan ancaman nyata dari NIIS dan mendesaknya tindakan segera untuk menghancurkan mereka.
Namun, konflik yang ada dan terpelihara lama di antara para pemimpin kawasan itu menjadi hambatan klasik. Selama ini, kecenderungan semua pemimpin negara-negara itu sama. Mereka menginginkan NIIS segera dihancurkan sebab ancamannya terhadap kemanusiaan begitu nyata. Setidaknya itu yang dikatakan. Namun, semua juga menolak untuk mengambil peran besar yang nyata di lapangan menghadapi NIIS, misalnya, untuk mengirimkan pasukan darat.
Kita masih ingat ketika kota Kobani berteriak meminta bantuan segera untuk penyelamatan kemanusiaan, pasukan darat Turki ternyata tidak mau masuk ke arena perang. Padahal, pasukan mereka sudah ada di perbatasan dengan kota itu dan mereka hanya menonton pertempuran yang tak seimbang itu hingga selesai.
Iran musuh ideologis sesungguhnya dari kelompok Sunni yang sangat anti Syiah ini juga sama. Negara itu sejauh ini tidak mau terjun ke arena perang darat. Mereka lebih mementingkan mempertahankan mati-matian kekuasaan Bashar al-Assad di Suriah, kendati belakangan sikap ini mulai berubah. Begitu pun Yordania, hingga kini juga belum bersedia untuk mengirimkan pasukan daratnya ke arena.
Bagaimana dengan Mesir? Setelah rakyatnya menjadi korban, Mesir tampak begitu aktif menggalang kekuatan kawasan dan internasional untuk menghancurkan kelompok itu, terutama yang di Libya. Jika Mesir berani menjadi negara pertama yang mengirimkan pasukan daratnya untuk melawan NIIS, maka kemungkinan itu akan diikuti negara-negara lain.
Posisi Mesir sebagai pemimpin tradisional di kawasan masih sulit digantikan oleh yang lain. Rezim militer Mesir saat ini bisa saja mengambil langkah itu terutama untuk mengembalikan posturnya di kawasan yang terus melorot dan mengonsolidasikan kekuatan di dalam negeri yang juga tak kunjung stabil.
Hambatan lainnya, para elite kawasan itu juga lebih berpikir pada nasib mereka pasca NIIS di tengah menguatnya sentimen anti penguasa diktator di kalangan rakyat. Ini menjadi lebih rumit. Sebab, ancaman NIIS di satu sisi bisa menjadi berkah bagi pemimpin-pemimpin diktator itu untuk mengonsolidasikan kekuatan di dalam negerinya dari ancaman luar, seperti yang terjadi selama ini. Wallahu alam....
IBNU BURDAH, PEMERHATI TIMUR TENGAH DAN DUNIA ISLAM; DOSEN UIN SUNAN KALIJAGA DAN UNWAHAS SEMARANG
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 Maret 2015, di halaman 7 dengan judul "Momentum Runtuhnya NIIS".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar