Secara keseluruhan, Prolegnas 2015-2019 memuat 109 rancangan undang-undang (RUU) yang diprogramkan menjadi UU. Jumlah ini tidak termasuk RUU Kumulatif Terbuka, yakni RUU yang terkait: (i) pengesahan perjanjian antarnegara atau internasional; (ii) perubahan UU karena adanya putusan Mahkamah Konstitusi; (ii) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan perubahannya; (iv) pemekaran wilayah provinsi dan kabupaten/kota, serta (v) RUU karena terbitnya suatu peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) oleh Presiden.
Prolegnas 2015-2019 tidak hanya memasukkan RUU usulan pemerintah dan DPR sendiri, tetapi juga mengakomodasi usulan komisi negara (Komnas HAM, KHN, Komnas Perempuan) serta organisasi dan kelompok masyarakat sipil. Dibandingkan dengan Prolegnas 2010-2014 yang memuat program legislasi dengan 247 RUU, jumlah RUU dalam Prolegnas 2015-2019 ini jauh lebih sedikit. Badan Legislasi (Baleg) DPR periode ini bersikap lebih selektif dalam menyusun RUU yang akan dibahas.
Terdapat satu perbedaan kebijakan legislasi periode ini dengan sebelumnya. Baik pemerintah maupun DPR tidak ingin ada dalam situasi "nafsu besar, tenaga kurang" dengan memprogramkan RUU sebanyak mungkin, tetapi tidak cukup waktu dan tenaga untuk merealisasikannya. Prolegnas ini mencakup mayoritas bidang pembangunan yang diprogramkan dalam pemerintahan Jokowi-Kalla. Satu di antara bidang tersebut terkait dengan perbaikan sistem peradilan pidana terpadu (
Dalam konteks penataan SPPT yang lebih baik, kesepakatan politik hukum DPR dan pemerintah tidak memulai revisi dari hukum pidana formal kita: Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Perbaikan SPPT akan diawali modernisasi hukum pidana materiil kita, yakni Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) warisan penjajah Belanda yang telah berumur hampir satu setengah abad. RUU KUHP ini ditempatkan dalam Prolegnas Prioritas 2015, yang berarti akan dibahas dalam masa-masa sidang DPR tahun ini.
RUU KUHP (dan KUHAP) sebenarnya telah mulai dibahas sejak DPR periode lalu. Namun, karena di DPR tidak dikenal lagi istilah "
Diskursus arah SPPT
Tak terhindarkan, pada setiap tahapan implementasi Prolegnas SPPT ini akan timbul diskursus hangat mengenai arah dan konten RUU-nya, baik dari kalangan elemen masyarakat sipil maupun dari lembaga penegak hukum yang kedudukan dan kewenangannya akan terpengaruh jika dilakukan perubahan UU terkait SPPT tersebut. Untuk RUU KUHP, misalnya, diskursus akan dimulai dari pertanyaan apakah KUHP mendatang sebaiknya merupakan konsolidasi terhadap semua pengaturan tindak pidana yang telah tersebar pada berbagai UU sektoral. Juga dalam penyikapan terhadap pidana mati, apakah tetap akan menjadi pidana pokok seperti saat ini atau akan digeser menjadi pidana alternatif dan pilihan terakhir penghukuman (
Diskursus juga diperkirakan akan mengemuka ketika perbaikan SPPT menyentuh hukum pidana formal (KUHAP) kita. Meskipun pada dekade awal diundangkan, KUHAP sering disebut sebagai karya agung bangsa Indonesia yang jauh lebih baik daripada hukum acara pidana warisan Belanda yang berlaku sebelumnya, yakni
Contohnya soal hak
Yang paling hangat tentu diskursus terkait penataan kedudukan dan kewenangan lembaga penegak hukum. Pada tahapan pembahasan RUU yang menyangkut lembaga penegak hukum akan terbuka (kembali) diskurus yang pernah muncul, terlebih setelah terjadi lagi "gesekan" Polri dengan KPK, yakni apakah sebaiknya Polri tetap berada di bawah Presiden atau ditempatkan di bawah satu kementerian yang ada sebagaimana TNI di bawah Kementerian Pertahanan. Juga apakah masih perlu pengangkatan Kepala Polri mendapat persetujuan DPR?
Di sisi lain, pencantuman revisi UU KPK dalam
ARSUL SANI ANGGOTA KOMISI III (HUKUM, KEAMANAN, DAN HAM) DAN BADAN LEGISLASI DPR/F-PPP
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Maret 2015, di halaman 7 dengan judul "Program Legislasi Nasional dan Sistem Peradilan Pidana".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar