Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 28 Maret 2015

Revitalisasi Pengawasan Internal (EKO PRASOJO)

Jika dilihat dari Indeks Persepsi Korupsi yang secara periodik dikeluarkan Transparency International, perkembangan pemberantasan korupsi Indonesia selama 10 tahun terakhir tidaklah terlalu menggembirakan.

Pada 2005, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia berada pada skor 2,2 dari skala 10. Sepuluh tahun kemudian (2014), IPK Indonesia hanya mengalami kenaikan skor 1,2 menjadi 3,4 (atau 34 dari skala 100). Dalam RPJMN 2010-2014, IPK Indonesia ditargetkan menjadi 5 (atau 50 dari skala 100).

Data ini perlu jadi refleksi bagi organ-organ negara dan pemerintah, apakah strategi pemberantasan korupsi selama ini sudah tepat. Tulisan ini tidak bermaksud mengabaikan strategi penindakan yang selama ini jadi prioritas, tetapi memberikan strategi lain berupa penguatan pengawasan internal pemerintah.

Disfungsi pengawasan

Para dosen dan mahasiswa yang mempelajari reformasi administrasi atau secara lebih luas reformasi sektor publik sudah sangat mafhum, perbaikan sistem merupakan cara efektif mengurangi penyakit birokrasi, termasuk di antaranya korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Banyak perubahan sistem yang bisa dilakukan untuk mencegah korupsi, salah satunya dengan memperkuat sistem pengawasan internal di setiap kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah (K/L/pemda). Saat ini pengawasan internal pemerintah dilakukan oleh Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP).

Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, telah banyak didiskusikan dan telah pula disiapkan Naskah Akademik dan Rancangan UU Sistem Pengawasan Internal Pemerintah (RUU SPIP). Saat ini keberadaan fungsi dan peran pengawas internal pemerintah telah diatur dalam PP No 60/2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP). Namun, dalam pelaksanaannya fungsi pengawasan internal pemerintah masih belum efektif untuk jadi alat kontrol pencegahan korupsi.

Ada beberapa penyebabnya. Pertama, masih rentannya sifat independensi APIP, yaitu para irjen, inspektur, dan para auditor, dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Melihat kedudukan hukumnya, APIP masih sangat bergantung pimpinan K/L/pemda. Dalam hal ini pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian APIP dilakukan oleh pimpinan K/L/pemda sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian.

Kondisi ini menyulitkan para APIP dalam menjalankan tugas secara obyektif, transparan dan akuntabel, terutama jika obyek pengawasan berkaitan langsung dengan kepentingan pimpinan K/L/Pemda dan/atau jika temuan pengawasan berkaitan langsung denganesprit de corps (jiwa korsa) terhadap lembaga/instansi tempat APIP bekerja.

Dalam banyak kasus seperti ini, ketika kepentingan ekonomi dan politik pimpinan K/L/pemda harus diselamatkan dan nama baik instansi harus diamankan, peran APIP menjadi disfungsi alias mandul.

Kedua, profesionalisme dan kompetensi APIP yang belum sepenuhnya terbentuk. Sebagian besar APIP di K/L apalagi di pemerintahan daerah masih belum memiliki kompetensi minimum yang dipersyaratkan. Kompetensi untuk melakukan fungsi pengawasan internal pemerintah paling tidak dibuktikan dengan kemampuan melakukan audit, review, evaluasi, investigasi dan lain-lain. Secara formal para pengawas ini harus memiliki kompetensi dalam jabatan fungsional auditor yang tersertifikasi atau setidaknya terstandardisasi (certified auditor).

Dari sekitar 48.000 auditor yang dibutuhkan di tingkat nasional, saat ini baru tersedia sekitar 8.000 auditor. Jika dilihat lebih detail lagi dalam kualitasnya, dari level lima yang diharapkan secara standar internasional, rata-rata para pengawas internal di Indonesia baru mencapai level dua, bahkan sebagian besar masih berada di level satu.

Ketiga, masih belum tegas dan jelasnya pembagian fungsi pengawasan internal yang dilakukan oleh APIP dengan pemeriksaan eksternal yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan dalam beberapa hal dengan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Di beberapa negara, seperti di AS, Korea dan Jerman, prioritas pengawasan internal pemerintah diletakkan pada aspek kepatuhan (compliance audit), sedangkan pengawasan eksternal pemerintah secara prioritas dan fokus diletakkan pada aspek kinerja pembangunan/pemerintahan (performance audit).

Dengan demikian, pada tingkat awal, pemeriksa/pengawas eksternal akan mempergunakan data-data hasil pengawasan yang dilakukan aparat pengawasan internal pemerintah. Jika dibutuhkan karena adanya dugaan penyimpangan proses dan hasil pengawasan, bisa dilakukan audit ulang oleh gabungan aparat pengawas internal pemerintah (bisa juga oleh BPKP) atau oleh pemeriksa eksternal (BPK).

Sistem dan kelembagaan

Peran dan fungsi SPIP sangat penting dalam pemerintahan dan pembangunan. Perannya seperti sistem deteksi dini atas berbagai potensi penyalahgunaan wewenang, potensi kerugian negara, inefisiensi dan ketidakefektifan program pembangunan. SPIP yang berjalan efektif akan meningkatkan capaian kinerja pembangunan dan mengurangi kerja penindakan dalam pemberantasan korupsi.

Berbagai strategi dan arah perubahan sejatinya sudah dirumuskan dalam draf RUU SPIP yang telah disiapkan bersama antara Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, BPKP, serta Asosiasi Auditor Intern Pemerintah Indonesia (AAIPI) selama 2012-2014.

Dalam draf RUU ini ditetapkan beberapa perubahan mendasar. Pertama, untuk memperkuat independensi APIP secara personal dan kelembagaan, akan dibentuk inspektorat nasional yang merupakan transformasi kelembagaan BPKP. Inspektorat nasional bertanggung jawab dan berada di bawah Presiden, sebagai organ pengawasan program-program pembangunan, baik yang berkadar kepatuhan (compliance) maupun kinerja (performance) dan melakukan fungsi-fungsi manajemen atas irjen/inspektur K/L/dan inspektur daerah, baik secara struktural maupun secara fungsional

Kedua, APIP melakukan fungsi pengawasan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi program/kegiatan pembangunan di K/L/pemda secara independen. Temuan-temuan pengawasan yang berpotensi penyalahgunaan wewenang, kerugian negara, ketidakefisienan dan ketidakefektifan harus disampaikan kepada pimpinan K/L/pemda dan disampaikan pula kepada inspektorat nasional dan aparat penegak hukum.

Ketiga, perlu ditetapkan standar kompetensi, kode etik, dan kode perilaku para APIP yang menjadi dasar pelaksanaan tugas pengawasan dan diawasi oleh inspektorat nasional. Untuk memenuhi jumlah APIP di seluruh Indonesia, perlu juga ditambah formasi pegawai ASN bagi jabatan fungsional auditor tingkat pertama, atau dengan melakukan perekrutan multijenjang untuk auditor tingkat muda, madya, dan utama melalui jalur pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).

Dalam jangka panjang juga perlu kiranya dilakukan penyesuaian dan harmonisasi tugas, fungsi, serta peran antara pengawas internal pemerintah dengan pemeriksa eksternal.

EKO PRASOJO,

GURU BESAR ADMINISTRASI NEGARA FISIP UNIVERSITAS INDONESIA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Maret 2015, di halaman 7 dengan judul "Revitalisasi Pengawasan Internal".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger