Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 28 Maret 2015

TAJUK RENCANA: Kekosongan Kapolri Definitif (Kompas)

Sudah 78 hari kursi Kapolri kosong. Kekosongan itu terjadi sejak Presiden Joko Widodo memberhentikan Kapolri Jenderal Sutarman.

Surat Presiden Jokowi yang berisi pemberhentian Sutarman dan pengusulan Komisaris Jenderal Budi Gunawan disampaikan kepada DPR pada 9 Januari 2015. Proses politik dan hukum yang berlarut membuat hingga Sabtu, 28 Maret 2015, kursi Kapolri definitif tetap kosong!

Inilah sejarah terlama kekosongan Kapolri definitif dalam tubuh Kepolisian. Setelah Presiden Jokowi mengusulkan nama Budi Gunawan, Komisi Pemberantasan Korupsi mengumumkan Budi sebagai tersangka. Presiden tidak menarik usulan Budi sebagai calon Kapolri, tetapi membiarkan DPR melakukan proses politik. Di luar harapan Presiden Jokowi, DPR justru secara aklamasi mendukung Budi Gunawan sebagai Kapolri.

Proses hukum berjalan. Hakim praperadilan membatalkan penetapan status tersangka Budi oleh KPK. Oleh hakim praperadilan, KPK dinyatakan tidak berwenang memeriksa Budi karena Kepala Lembaga Pendidikan Polri ini bukan sebagai penyelenggara negara atau penegak hukum. KPK kemudian melimpahkan berkas perkara Budi ke Kejaksaan Agung. Setelah putusan praperadilan itu, Presiden Jokowi tetap tidak melantik Budi dan menarik pencalonan Budi serta mengusulkan calon baru, yakni Wakil Kapolri Komisaris Jenderal Badrodin Haiti.

DPR belum memproses pencalonan Badrodin dan meminta Presiden menjawab alasan mengapa pencalonan Budi ditarik kembali. Inilah masalah politik yang kini menyandera sehingga kursi Kapolri kosong. Publik pantas bertanya, sampai berapa lama kursi Kapolri akan dibiarkan kosong sementara pekerjaan kian menumpuk.

Di tengah berbagai masalah dan tantangan besar yang dihadapi Kepolisian, Kapolri definitif adalah keniscayaan. Jika merujuk pada UU Kepolisian, Polri berada di bawah Presiden. Pasal yang diadopsi sejak reformasi ABRI itu sempat sayup-sayup dipersoalkan, mengapa Kepolisian harus di bawah Presiden secara langsung? Meski UU Kepolisian menegaskan Polri di bawah Presiden, UU Kepolisian menegaskan, pengangkatan dan pemberhentian Kapolri dilakukan dengan persetujuan DPR.

Dalam UUD 1945, sebenarnya tidak ada rujukan konstitusional bahwa pencalonan dan pemberhentian Kapolri harus mendapat persetujuan DPR. Namun, nyatanya pembuat undang-undang mensyaratkan bahwa pemberhentian dan pengusulan Kapolri harus mendapat persetujuan DPR. Syarat itu dicantumkan untuk mencegah Kapolri menjadi alat kekuasaan sehingga pencalonannya membutuhkan persetujuan DPR. Namun, ketika konfigurasi politik antara Presiden dan DPR berbeda, klausul "persetujuan" DPR bisa juga memicu persoalan.

Terlepas dari perdebatan hukum dan konstitusional, kita berharap DPR dan Presiden bisa segera bertemu mencari solusi masalah tersebut. Kita tak ingin kekosongan kursi Kapolri definitif dibiarkan terlalu lama.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Maret 2015, di halaman 6 dengan judul "Kekosongan Kapolri Definitif".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger