Di hadapan sejumlah ekonom, Menteri Negara BUMN Rini M Soemarno menegaskan bahwa BUMN adalah "agen pembangunan". Dalam percakapan pribadi dengan saya, setelah mengunjungi sebuah industri semen di Sumatera, Rini menyatakan idealnya sebuah BUMN adalah "agen perubahan".
Fungsi keagenan itu belum dilihat pada industri semen itu. Sebab, ujarnya, perkembangan masyarakat sekitar kompleks industri itu tak berubah sejak sepuluh tahun lalu. Satu dekade sebelumnya, Rini memang berkunjung ke daerah itu.
Secara teoretis, frasa "agen pembangunan" dan "agen perubahan" sebuah entitas ekonomi, seperti pernah saya nyatakan dalam tulisan sebelumnya, adalah refleksi pandangan
Dengan mengontraskan dua pandangan itu, frasa Rini bahwa BUMN adalah "agen pembangunan" dan "agen perubahan" setidak-tidaknya menemukan dasar pemikiran tertentu. Bahkan, sepanjang berkaitan dengan gagasan penyatuan ekonomi dan dunia sosial, frasa itu mendekati pandangan ekonom klasik David Ricardo (1772-1823) yang "memfatwakan" bahwa tinggi rendahnya upah (
Tanpa terasa, dasar pemikiran frasa di atas mengalir pada Pasal 33 UUD 1945 yang menekankan perekonomian berasas kekeluargaan dan menegaskan kehadiran negara dalam pengelolaan kekayaan alam "untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Dalam konteks dewasa ini, amanat konstitusi itu terterjemahkan dalam Nawacita, terutama butir satu dan tujuh. Di sini ditegaskan negara harus hadir kembali ... untuk "mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi dan domestik."
Inilah, pada hemat saya, dasar pemikiran Rini dalam meyakinkan Kementerian Keuangan dan DPR bagi penambahan modal negara kepada 38 BUMN strategis dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015. Kita ketahui, tak semua usul ini diterima DPR. Akan tetapi, kita menemukan semangat BUMN sebagai "agen pembangunan" dan "agen perubahan" bersifat
Hal itu, yakni keharusan ekspansi kredit untuk mendukung program pemerintah dalam pembangunan infrastruktur dan mempertahankan kepemilikan negara atas bank itu. Andai terlaksana, dua hal akan tercapai sekaligus: kehadiran negara dalam perekonomian dengan tetap memegang saham mayoritas dan fungsi Bank Mandiri sebagai "agen pembangunan" dan "agen perubahan" dengan berpartisipasi ke dalam pembangunan infrastruktur. Bukankah ini salah satu terjemahan butir tujuh Nawacita dalam membangun kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis dan domestik?
Pengalaman Singapura
Lalu, apa hubungannya dengan mantan PM Singapura Lee Kuan Yew? Jawabannya, tokoh inilah yang menerapkan BUMN sebagai strategi pembangunan kemakmuran rakyat Singapura. "Terpaksa" menyatakan kemerdekaan Singapura pada 9 Agustus 1965, ia mendapati negara-kota itu tanpa sumber daya alam (SDA) apa pun. Dalam bukunya
Toh Singapura masih menghadapi persoalan lain: mundurnya tentara Inggris dari negara-pulau itu dengan efek ekonomi tertentu. "Kehilangan pendapatan berasal dari belanja militer Inggris pada 1968-1971 itu," ujar Lee Kuan Yew dalam bukunya yang lain,
Absen dalam SDA, potensi modal, dan kewirausahaan domestik, Singapura di bawah Lee mengembangkan BUMN sebagai strategi pembangunan ekonomi. Tanpa terasa, pengembangan BUMN ini menjadi bagian dari
Lee Kuan Yew mengakui sifat agresif negara sebagai "aktor ekonomi". Dalam bukunya yang telah kita sebutkan,
Karena kesulitan sumber daya manusia (SDM), Lee Kuan Yew merekrut tenaga-tenaga muda menjadi birokrat dengan syarat punya integritas, kemampuan berpikir dan bersemangat. Namun, ujarnya, "tidak punya catatan kemampuan bisnis". Merekalah yang dikirim menempuh pendidikan di universitas-universitas Inggris, Kanada, Australia, Selandia Baru, Jerman, Perancis, Italia, Spanyol, dan AS. "Kami," ujar Lee, "membuat mereka menjadi kaum wiraswasta untuk memberikan contoh bagaimana memulai pengelolaan BUMN yang berhasil, seperti NOL dan SIA." Saat usaha ini berhasil, lanjut Lee, "kami mengubah BUMN yang punya hak monopoli, seperti PUB (Public Utilities Board) dan PSA (Port Singapore Authority) dan Singapore Telecom, ke dalam satuan-satuan terpisah, bebas dari kontrol kementerian, dijalankan sebagai perusahaan-perusahaan efisien dan berdaya saing."
Di bawah Lee Kuan Yew, negara bukan mereproduksi kaum konglomerat seperti di Indonesia, melainkan BUMN sebagai basis ekonomi nasional dan kaum birokrat cakap dan berintegritas yang bertindak sebagai wiraswasta dengan menggandeng modal dan pelaku ekonomi global. Ini semua, catat Choon Yin Sam dalam artikelnya "Globalizing Partially Privatized Firms in Singapore: The Role of Government as Regulator and a Shareholder" (2010), "bertujuan memecahkan ketidakmampuan perusahaan-perusahaan lokal mengangkat ekonomi dari kemundurannya, sementara pengusaha-pengusaha lokal kekurangan informasi, keahlian, hubungan dengan pihak luar negeri dan sumber daya finansial dan manajerial yang dibutuhkan untuk bersaing secara efektif dengan perusahaan-perusahaan multinasional dan menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyat." Tak heran, seperti dicatat John Wong dalam
Puncak rekayasa BUMN sebagai soko guru ekonomi nasional Singapura adalah kelahiran Temasek pada 25 Juni 1974. Sebuah perusahaan "payung investasi" (
Pasar bebas dan rasa keadilan
Apa konteks semua ini dengan frasa BUMN sebagai "agen pembangunan" dan "agen perubahan" Rini di atas? Di sini, landasan gagasan Lee Kuan Yew harus dilihat. Dalam
Ini dilakukan dengan mengajukan amandemen UU Central Provident Fund (CPF Act) pada 1968. CPF adalah BUMN finansial yang telah ada sejak Singapura di bawah pemerintahan Inggris. Dengan amandemen ini, peningkatan setoran pensiun kaum pekerja menjadi absah. Bersama dengan itu, House Development Board (HDB), BUMN perumahan, "diperintahkan" membuat skema pemilikan rumah bagi rakyat. Dengan jaminan CPF, pekerja diizinkan membayar uang panjar 20 persen dari nilai flat, yang pelunasannya dilakukan selama 20 tahun. Hasilnya mencerahkan. Jika pada 1967 hanya ada 3.000 pembeli, pada 1996 bertambah menjadi 70.000 orang. HDB membangun 725.000 flat pada saat yang sama. Melalui renovasi yang disubsidi HDB sebesar 58.000 dollar Singapura, proses
Pada 1978, pemerintah mengizinkan CPF menginvestasikan tabungan pribadi. Langkah ini bersamaan dengan usaha peningkatan layanan BUMN transportasi, Singapore Bus Services Ltd (SBS) yang telah terdaftar di pasar modal. Anggota CPF yang bekerja di SBS diizinkan membeli saham SBS 5.000 dollar Singapura saat pendaftaran pertama. "Saya ingin usaha ini jadi pembagian kepemilikan saham terluas sehingga keuntungan akan kembali kepada para pekerja, pengguna jasa tetap transportasi publik," kata Lee.
Berhasil dengan eksperimen ini, pemerintah membebaskan CPF berinvestasi di berbagai bidang. Keuntungan investasi itu melalui kepemilikan saham kolektif? terdistribusikan kepada rakyat. Tak mengherankan jika pada 1997 saja, dengan penduduk sekitar 3 juta, telah terdapat 1,5 juta (dari 2,8 juta) anggota CPF yang berinvestasi di pasar saham Singapura. Nilai tabungan anggota, di luar 80 miliar dollar Singapura yang ditarik untuk pembayaran flat HDB, tumbuh sebesar 85 miliar dollar Singapura. Langkah ini pula yang dilakukan negara ketika melakukan "privatisasi" SingTel pada 1993, yaitu menjual saham dengan setengah harga pasar kepada penduduk dewasa Singapura.
Semua usaha ini, tulis Lee Kuan Yew dalam
FACHRY ALI SALAH SATU PENDIRI LEMBAGA STUDI DAN PENGEMBANG ETIKA USAHA INDONESIA (LSPEU INDONESIA)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Maret 2015, di halaman 6 dengan judul "Rini, Lee Kuan Yew, dan BUMN".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar