Nenek Asyani adalah rakyat kecil berusia 63 tahun dan harus menghadapi tuduhan pencurian tujuh batang kayu jati di lahan milik Perhutani. Ia ditahan sejak 15 Desember 2014 dan baru beberapa hari silam memperoleh penangguhan penahanan setelah sering sakit-sakitan di dalam tahanan serta permohonan penangguhan penahanan yang diajukan kuasa hukumnya ditolak pengadilan.
Kasus ini sejatinya telah terjadi lima tahun silam, tetapi baru dilaporkan Perhutani pada Agustus 2014. Saat ini, kasus Asyani sedang disidangkan di Pengadilan Negeri Situbondo, Jawa Timur.
Kasus yang nyaris serupa dialami Harso Taruno, seorang kakek 65 tahun di Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sang kakek tersebut juga harus menghadapi kriminalisasi karena didakwa merusak hutan konservasi di Hutan Suaka Margasatwa Paliyan. Kejadian itu bermula saat dia pergi ke ladang dan melihat ada sebatang kayu jati tergeletak di atas lahan yang ia sewa itu.
Kemudian, Harso berniat menyingkirkan kayu itu. Namun, karena kesulitan dalam menyingkirkan kayu, dia memutuskan untuk memotong kayu itu menjadi tiga bagian. Bermula dari hal tersebut, sang kakek dijerat dengan Pasal 12 C Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan Milik BKSDA Yogyakarta
Tragedi hukum
Hukum dalam kedua kasus tersebut telah dilucuti dari hakikat eksistensialnya sebagai pemberi keadilan dan telah menjelma tak lebih dari sekadar alat kekerasan penguasa terhadap rakyat yang tidak berdaya. Di satu sisi negara sibuk mencari pembenaran untuk memberikan remisi terhadap para koruptor kakap yang telah dihukum penjara karena kejahatan strukturalnya yang merugikan keuangan negara serta sibuk mengkriminalisasikan pimpinan dan penyidik KPK serta aktivis anti korupsi.
Di sisi lain, negara justru abai mewujudkan janjinya untuk memberikan keadilan sosial bagi rakyatnya. Jika konstitusi mengamanatkan bahwa fakir miskin dipelihara oleh negara, yang terjadi justru negara sibuk memenjarakan fakir miskin, di saat hukum didominasi oleh rasionalitas instrumental.
Sejatinya, tragedi hukum yang dialami sang nenek dan kakek di atas justru memperlihatkan cara berpikir dogmatis. Cara berpikir tersebut telah memenjarakan akal sang penegak hukum sendiri meskipun secara lahiriah terlihat kedua warga negara papa tersebut yang mendekam dibui, di saat ia menggunakan hukum menjadi alat kekerasan yang kejam dan tajam menghunjam ke bawah, tetapi tumpul berhadapan dengan kuasa.
Dalam pandangan filsuf Hannah Arendt, tragedi kriminalisasi yang dilakukan sang penegak hukum terhadap Asyani dan Harso tersebut diibaratkan algojo yang telah kehilangan rasa kemanusiaannya dan tercabut dari realitasnya.
Ketidakmampuan sang algojo untuk melakukan refleksi moral tersebut merupakan sebuah "kejahatan radikal" melalui strategi dehumanisasi menggunakan teknik yang menyebabkan ketakutan dan penderitaan permanen yang digambarkan Arendt sebagai "banalitas kejahatan struktural".
Seharusnya, hukum yang merefleksikan cita hukum (
Di mana keadilan harus dicari jika palu keadilan sang hakim tak lagi mewartakan keadilan?
W RIAWAN TJANDRA, PENGAJAR PADA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Maret 2015, di halaman 6 dengan judul "Hukum di Mata Asyani dan Harso".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar