Reformasi tahun 1998 membalikkan semua yang sudah berjalan aman dan terkendali lewat praksis kekuasaan yang represif. Sesudah 1998, bangsa Indonesia seolah-olah seperti bocah yang tertatih-tatih belajar jalan. Impuls berkuasa yang terpendam selama 30 tahun lebih memperoleh kanal pelepasan.
Demokratisasi yang puluhan tahun dipraktikkan tidak sebagai daulat rakyat menggeliat mencari bentuk baru. Reformasi telah mengubah demokratisasi, tanpa menyingkirkan kekuasaan oligarki (Richard Robison dan Vedi R Hadiz dalam
Revolusi mental yang digulirkan Presiden Joko Widodo, ketika berhenti sebagai
Dalam praksis kekuasaan, atas nama demokratisasi semua kebijakan tersendat-sendat direalisasikan, tidak hanya di tingkat pusat. Prosedur yang semula aman ketika coba dilakukan perubahan dengan frontal spontan dirasa mengusik ketenangan oligark. Salah satu contohnya, gaduhnya penetapan RAPBD Pemprov Jakarta 2015.
Kegaduhan dan kericuhan beberapa partai politik besar, merebak setelah 1998, dulunya "diselesaikan" lewat represi kekuasaan pemerintah, tidak jauh beda dari bentuk turunan oligarki. Untuk meraih, memperbesar, dan mempertahankan kekuasaan, para oligark terus mencari dan mengubah strategi dengan dalih dinamika.
Berbagai bentuk kekisruhan dan kegaduhan diciptakan dan dibiarkan terjadi, dalam kehidupan partai—salah satu pilar demokratisasi politik—berjalan dalam satu arus utama teknokratis dan pragmatisme. Oligarki atau plutokrasi yang bertujuan dan mendatangkan hasil yang mirip antara Orde Baru dan Reformasi.
Kondisi perpolitikan itulah yang dihadapi negeri ini. Nyepi 2014, menjelang Pemilu 9 April 2014, kita dihadapkan pada kegaduhan geliatnya pencarian strategi para oligark keluar dari lingkaran kekuasaan. Saat ini, kegaduhan berlanjut bagaimana oligarki melakukan mimikri-tiwikrama, yang berujung pada terbengkalainya hak-hak rakyat yang asasi.
Di hari Nyepi tahun ini, awal tahun Saka, bagi umat Hindu lewat berbagai laku yang arahnya adalah atret, retret, mundur, kembali pada jati diri. Nyepi mengajak kita melakukan pertobatan dan menyamakan derap dari "jalan di tempat" dengan berbagai kegaduhan ke "langkah maju" dengan risiko yang semakin berat. Selamat hari raya Nyepi/Tahun Baru Saka 1937 bagi yang merayakan!
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Maret 2015, di halaman 6 dengan judul "Nyepi dari Gaduhnya Dunia".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar