Orang-orang yang diselamatkan dari beban biaya cuci darah, operasi jantung atau pengobatan kanker, rasanya sudah tidak terhitung. Namun, sejalan dengan itu, ancaman BPJS Kesehatan bangkrut juga perlu diwaspadai.
Ada berita "claim-ratio" sudah di atas 100 persen. Artinya, dana yang tersedia dari iuran peserta sudah tidak mencukupi. Kalau BPJS Kesehatan tidak mampu lagi membayar pelayanan kesehatan, bagaimana nasib sekitar 150 juta pesertanya? Gejolak sosial, dalam hal ini perlu diwaspadai dan bahkan dicegah. Masa depan cita-cita memberikan jaminan kesehatan kepada seluruh rakyat juga akan terancam.
Apa yang salah?
Jaminan biaya kesehatan
Ketika BPJS Kesehatan memulai tugasnya pada 1 Januari 2014, BPJS Kesehatan, sebagai transformasi PT (Persero) Askes Indonesia bertugas memberi jaminan kesehatan kepada lima kelompok masyarakat sekaligus, yaitu kelompok peserta PT (Persero) Askes Indonesia yang terdiri dari Pegawai Negeri Sipil dan Penerima Pensiun (PNS /PP), kelompok peserta PT (Persero) Jamsostek, yang terdiri dari para karyawan swasta, peserta program Jamkesmas di berbagai daerah serta masyarakat yang tidak mampu yang tercakup dalam program Penerima Bantuan Iuran (PBI), dan peserta mandiri, yaitu perorangan yang mendaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan.
Selain itu, juga peserta Kartu Indonesia Sehat yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo, yang tercakup dalam program peserta PBI. Pada kurun waktu setahun itu, peserta BPJS Kesehatan telah meningkat menjadi sekitar 136 juta orang, sebelumnya peserta Askes hanya sekitar 19 juta orang. Kelima kelompok itu berbeda dalam pembiayaan, sistem pelayanan, dan juga manfaat jaminan kesehatannya.
Setelah bergabung pada 1 Januari 2014, kelimanya memperoleh jaminan kesehatan sesuai skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan seperangkat sistem pembiayaan (INA-CBG) dan pelayanan berjenjang, untuk memenuhi kebutuhan medik.
Dari kenyataan seperti itu, kiranya dapat diantisipasi beberapa hal yang bisa menjadi kendala, bahkan ancaman bagi kelangsungan hidup BPJS Kesehatan:
Pertama. Beban operasional/ administrasi/keuangan BPJS Kesehatan, sebagai transformasi PT (Persero) Askes dan badan tunggal penyelenggara JKN meningkat tajam dalam waktu sangat pendek. Wajar, kalau terjadi keribetan awal yang luar biasa.
Kedua. Implementasi INA-CBG, sebagai sistem pembayaran pelayanan kesehatan yang baru juga memerlukan sosialisasi yang luas. Tidak saja di kalangan internal BPJS Kesehatan, tetapi juga kepada Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK), dalam hal ini dokter/puskesmas dan rumah sakit.
Selain itu, besaran jasa berdasar INA-CBG juga memperoleh penilaian beragam, lebih kecil atau lebih besar dari yang berlaku, tergantung tarif yang berlaku di masing-masing daerah dan RS. Penilaian besaran tarif, selayaknya juga digunakan tarif pelayanan kesehatan yang selama ini berlaku di PT (Persero) Askes, tidak hanya tarif yang berlaku bagi masyarakat umum.
Ada kesan, INA-CBG juga membuka peluang terjadinya pemanfaatan pelayanan yang berlebihan, bahkan penyimpangan. Terjadinya "claim ratio" di atas 100 persen, tidak saja disebabkan karena besaran tarif INA-CBG, tetapi juga sistem pelayanan kesehatannya yang belum optimal.
Ketiga. Peserta mandiri memberi peluang terjadinya peningkatan biaya, mengingat hanya kelompok rawan penyakit, terutama penyakit yang memerlukan biaya yang besar untuk mendaftarkan diri (
Dari implementasi JKN sebagaimana digambarkan di atas, apabila kita membuka Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, yang melandasi penyelenggaraan jaminan kesehatan ditemukan hal-hal sebagai berikut.
Temuan di lapangan
Meskipun terbuka peluang terbentuknya badan tunggal penyelenggara jaminan kesehatan, peta jalan disarankan bertahap. Penahapan ini dari jumlah badan penyelenggara, yang membuka peluang beberapa BPJS dan cakupan peserta yang disarankan mulai dari kelompok tenaga kerja formal, dengan menerapkan konsep asuransi kesehatan sosial secara nasional, termasuk bagi kelompok tenaga kerja nonformal.
Dengan pendekatan seperti ini, kelangsungan hidup BPJS lebih terjamin. Hal ini diperlukan untuk dapat mendekati asas keadilan sosial dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan serta kegotong-royongan. Pengertian kepesertaan wajib dalam UU No 40/2004, tidak berarti keterpaksaan, tetapi tetap mempertimbangkan hak dan kewajiban peserta dan kemampuan BPJS.
Hal lain adalah besaran jasa layanan kesehatan ditetapkan berdasar kondisi daerah, melalui kesepakatan antara badan penyelenggara di daerah dengan PPK di daerah. Hal ini untuk memenuhi asas manfaat dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan, mengingat kondisi PPK di beberapa daerah sangat berbeda kemampuannya.
Berikutnya manfaat medik yang sama bagi seluruh peserta untuk memenuhi kebutuhan medik. Sedangkan untuk manfaat nonmedik, misalnya, kelas perawatan RS, dimungkinkan berbeda sesuai dengan besaran iuran secara nominal, sesuai dengan prinsip asuransi. Formula ini juga untuk memenuhi asas "Kemanusiaan" dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan.
Perlu ditetapkan penyelenggaraan jaminan kesehatan berdasar konsep "Managed Healthcare Concept" dengan menerapkan sistem pembayaran
Dengan gambaran sebagaimana dikemukakan di atas tentunya timbul pertanyaan, apakah JKN merupakan implementasi program jaminan kesehatan sebagaimana tertuang dalam UU No 40/2004? Tanpa mengurangi adanya inovasi yang harus tetap terbuka, prinsip-prinsip dan asas-asas penyelenggaraan jaminan kesehatan tetap diperlukan. Hal ini karena biaya kesehatan selalu meningkat tajam, tahun demi tahun, melampaui inflasi dan harga barang dan jasa lainnya. Pemicunya adalah sifat alami pelayanan kesehatan yang padat modal, padat karya, dan padat teknologi, tetapi juga terbukanya peluang pemanfaatan pelayanan kesehatan yang berlebihan dan bahkan tidak diperlukan. Keberhati-hatian penyelenggaraan jaminan kesehatan, dalam hal ini sangat penting.
Harapan
Kini, JKN dan BPJS Kesehatan telah berjalan setahun. Optimisme untuk mencapai cakupan semesta (
Pelajaran dari banyak negara mengindikasikan, konsumsi biaya kesehatan yang tinggi, belum tentu berdampak status kesehatan yang tinggi pula. Amerika Serikat, yang dikabarkan mengonsumsi 17 persen PDB untuk kesehatan, tidak lebih baik status kesehatannya dibanding Jepang, yang hanya menggunakan separuh anggaran kesehatan AS .
Berapa Indonesia akan mengalokasikan anggaran kesehatannya? Semoga masih dalam jangkauan yang rasional untuk membiayainya.
SULASTOMO
Anggota/Ketua Tim SJSN 2001-2004
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Maret 2015, di halaman 7 dengan judul "Setahun BPJS Kesehatan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar