Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 16 Maret 2015

Subsidi untuk Partai (VERI JUNAIDI)

Wacana Mendagri Tjahjo Kumolo soal subsidi negara Rp 1 triliun untuk partai politik menuai kritik. Sebab, partai dianggap tak layak menerima subsidi negara, apalagi perannya yang minim memperjuangkan kesejahteraan rakyat.

Citra yang muncul saat ini, partai identik dengan kepentingan elite politik sehingga subsidi negara hanya akan dijadikan bancakan politik bagi partai, khususnya elite-elite tertentu. Citra partai negatif karena beberapa kasus korupsi justru melibatkan petinggi partai. Belum lagi perseteruan antar-elite yang melanda partai, yang memperlihatkan orientasi partai pada kekuasaan oleh segelintir orang.

Partai dihidupi oleh elite sehingga mengabdi pada kepentingan elite, padahal kerja partai justru sangat strategis untuk publik, seperti pengisian jabatan publik, menentukan calon presiden dan wakil presiden, gubernur, bupati, wali kota, dan bahkan semua komisi negara.

Oligarki partai

Tujuan pengaturan keuangan partai adalah menjauhkan partai dari penguasaan pemilik modal agar bebas memperjuangkan kepentingan rakyat. Berdasarkan hal ini muncul pertanyaan, sejauh mana pengaturan keuangan partai mampu menjauhkan partai dari penguasaan modal sehingga kepentingan rakyatlah satu-satunya yang menjadi tujuan?

Kajian Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menunjukkan, Undang-Undang Partai Politik (UU Nomor 2/2008 dan UU Nomor 2/2011) gagal mengemban misi tersebut. Buktinya, partai belum mandiri dan bergantung pada pemodal besar.

Fakta ini mudah diidentifikasi, misalnya dalam pengisian jabatan strategis dalam struktur kepengurusan partai diisi oleh orang yang memiliki modal atau setidak-tidaknya berafiliasi dengan pemodal. Akibatnya, kebijakan strategis partai dikuasai oleh mereka yang mampu menggerakkan roda organisasi partai dengan kekuatan uang, sebab sumber dan bentuk pendanaan politik akan memengaruhi pembentukan karakter dan kebijakan partai yang dihasilkan.

Pendanaan bersumber dari sebagian besar partisipasi anggota/konstituen, akan membentuk partai pro-rakyat karena kebergantungannya terhadap partisipasi rakyat. Sebaliknya, pendanaan dari kelompok pemodal justru menjadikan partai tidak mandiri dan bergantung pada pemberi dana. Dampaknya terlihat dalam pengambilan kebijakan yang tidak lagi berpihak kepada kepentingan rakyat.

Di internal partai, dampak terlihat dari proses regenerasi kepemimpinan yang tidak berjalan fair dan justru memunculkan oligarki dalam institusi partai. Partai semakin tertutup dan dikhawatirkan melahirkan personifikasi terhadap partai. Kader-kader baik dan berpotensi tak lagi mampu bersaing dengan calon karbitan dengan modal mumpuni.

Jika kondisi itu terus berjalan tanpa pembenahan, partai akan semakin jauh dari publik. Partai tidak lagi menjadi pilar demokrasi yang menyuarakan kepentingan rakyat. Namun, partai hanya akan menjadi kuda tunggangan kepentingan dengan pedati dan kendali uang dari elite dan pemilik modal.

Kebutuhan partai politik sangat besar untuk menghidupi roda organisasi. Namun, tidak banyak penelitian yang sanggup menghitung secara pasti besaran kebutuhan partai dalam setahun. Jika dilihat dari agenda partai, sumber pendanaan resmi partai politik tak mencukupi.

Perludem pernah menghitung secara kasar kebutuhan partai. Misalnya, muktamar/munas/kongres partai kecil/menengah minimal mengeluarkan Rp 8,6 miliar, operasional kesekretariatan Rp 1,4 miliar, pendidikan politik dan kaderisasi Rp 33,7 miliar, unjuk publik seperti survei, iklan, ulang tahun, seminar dan lainnya sekitar Rp 6,7 miliar, perjalanan dinas Rp 1,2 miliar, sehingga jika ditotal kurang lebih Rp 51,2 miliar per tahun.

Di sisi lain, sumber pendanaan resmi partai sangat minim. Rata-rata partai tidak menjalankan iuran anggota sehingga pemasukannya nol rupiah. Sumbangan perseorangan anggota yang rata-rata berasal dari iuran anggota Dewan hanya mencapai Rp 0,6 miliar. Setiap partai menerapkan aturan beragam untuk iuran anggota Dewan ini. Sumbangan perseorangan dan badan usaha praktis tidak diketahui besaran dan pengelolaannya. Subsidi negara sebesar Rp 108 per suara, dengan total subsidi terkecil Rp 0,4 miliar dan terbesar Rp 2,3 miliar (2009-2014).

Artinya, pendanaan yang berasal dari sumber terang benderang partai tidak lebih dari 3 persen dari seluruh kebutuhan partai. Selebihnya, 97 persen, belum diketahui dari mana sumber pendanaannya. Pendanaan itu bisa berasal dari elite partai atau mungkin sumber lain yang tidak pernah diketahui.

Oleh karena itu, hadirnya campur tangan negara dalam pendanaan partai politik diperlukan. Subsidi negara Rp 1 triliun dibutuhkan untuk mengimbangi sumber keuangan partai politik agar menjadi partainya publik. Namun, memang, mekanisme pemberian bantuan mesti diatur secara baik.

Potensi bancakan

Pendanaan Rp 1 triliun memang bukan hanya untuk satu partai. Mekanisme subsidi negara diberikan berdasarkan perolehan suara partai dalam pemilu. Semakin tinggi perolehan suara, semakin tinggi subsidi yang diberikan. Seperti mekanisme 2009-2014, negara memberikan subsidi Rp 108 per suara sehingga Partai Demokrat memperoleh subsidi terbesar, yakni Rp 2,3 miliar, dengan perolehan suara dalam pemilu 21.655.295, dan terkecil Partai Hanura, yakni Rp 423 juta, dengan suara 3.925.620 suara.

Pencairan subsidi negara juga harus diatur secara ketat sehingga potensi bancakan uang negara bisa dihindari. Seperti aturan yang sudah ada, setiap partai politik harus menyerahkan laporan pertanggungjawaban setiap tahun. Laporan ini yang kemudian diaudit oleh BPK sehingga transparansi dan akuntabilitas penggunaannya terjamin. Mekanisme sanksi juga diberlakukan terhadap partai yang tidak menyerahkan laporan sehingga subsidi tahun berikutnya tidak bisa dicairkan.

Subsidi negara ini juga tidak bisa digunakan sembarangan, tetapi telah diatur untuk kepentingan pendidikan politik. Undang-Undang Partai Politik telah menegaskan bahwa subsidi negara diprioritaskan untuk pendidikan politik masyarakat. Dengan demikian, subsidi itu pada akhirnya akan kembali kepada masyarakat melalui bentuk yang lain.

Selain persoalan subsidi, mestinya Kemendagri juga memikirkan tujuan lain dari sekadar memecah dominasi pendanaan elite. Mekanisme pendanaan ini seharusnya juga diarahkan untuk memberikan penghargaan bagi partai politik yang berhasil mengumpulkan dana publik atau iuran anggota melalui mekanisme matching fund, di mana subsidi negara akan diberikan sejalan dengan kemampuan partai menggalang dana publik.

Optimalisasi iuran anggota dan penggalangan dana publik tidak semata-mata untuk penguatan keuangan partai. Sejalan dengan itu, kebijakan optimalisasi iuran mendorong partai mendekatkan diri dengan anggota/konstituen/pemilih melalui kebijakan-kebijakan yang pro publik.

Upaya inilah yang seharusnya dijelaskan Kemendagri kepada publik sehingga tidak menimbulkan kegaduhan dan perdebatan yang tidak produktif. Kemendagri hendaknya membangun konsep yang matang untuk kemudian bisa dipahami sebagai upaya perbaikan yang sangat penting ini.

VERI JUNAIDI,

Peneliti Perludem dan Salah Satu Penulis Buku Anomali Keuangan Partai Politik

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Maret 2015, di halaman 6 dengan judul "Subsidi untuk Partai".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger