Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 16 Maret 2015

TAJUK RENCANA: Keadilan Nenek Asyani Dkk (Kompas)

Nenek Asyani (63) korban semangat besar penegakan hukum. Ia dituduh mencuri dua balok kayu Perum Perhutani.

Nenek yang hidup sendiri di Jatibanteng, Situbondo, itu diajukan ke pengadilan. Bersama tiga orang lainnya, Ruslan, menantunya yang membantu mengangkat kayu; Abdussalam, sopir mobil pengangkut kayu; dan Cipto, tukang kayu; mereka ditahan sejak Desember 2014. Kasusnya disidangkan di Pengadilan Negeri Situbondo. Hari Senin ini sidang dilanjutkan dengan putusan sela. Absurd. Bukan sekali ini, pernah terjadi pencuri sandal jepit divonis masuk bui.

Enam tahun lalu, suaminya—sudah meninggal—menebang pohon jati di lahannya sendiri. Pekarangan dijual. Juli 2014, Perhutani kehilangan kayu, mengklaim 38 sirap kayu itu milik Perhutani. Persoalan muncul ketika Asyani membawanya ke tukang kayu untuk dibikin kursi. Karena Asyani tidak bisa membuktikan tanda keabsahan kayu, dia bersama tiga orang lainnya ditahan.

Tiga persoalan berkelit kelindan. Pertama, data materiil yang dipakai ada beberapa kejanggalan. Misalnya, umur Asyani dicatat 45 tahun, seusia anaknya. Kedua, pasal dakwaan berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dengan ancaman 5 tahun penjara. Padahal, yang dilakukan Asyani dkk bukan pencurian besar-besaran yang merugikan negara.

Yang pertama dan kedua lebih mudah diterima dan diatasi. Namun, yang lebih penting, mencegah jangan sampai hukuman menimpa orang yang salah. Kepastian hukum oke, tetapi pasal yang dikenakan jangan sampai membuat orang jengah, kaget, mungkin merasa lucu.

Tidak sampai ke dugaan upaya kriminalisasi, secara moderat kita harapkan kasus ini tidak diwarnai nafsu besar menegakkan hukum dan aturan saja. Di tataran lebih sebagai harapan—pemahaman dan sisi positif penegakan hukum—perlu dipertimbangkan faktor keadilan restoratif. Penegakan hukum sebagai proses penemuan keadilan yang sebenar-benarnya merupakan bagian dari pemulihan.

Setiap keputusan pengadilan perlu dijauhkan dari penerapan lex tamquam instrumentum criminis (hukum menjadi semacam alat kejahatan). Penyalahgunaan kekuasaan hakim, ketika dirasakan tidak mencerminkan rasa keadilan publik, etis moral harus dimintai pertanggungjawaban.

Kepastian hukum dan penegakan keadilan sebenar-benarnya, bertemunya keadilan prosedural, rasa keadilan publik, dan keadilan restoratif, mengacu pada warisan ahli sosiologi hukum Satjipto Rahardjo. Dalam menegakkan keadilan, dalam memproses setiap kasus, dia anjurkan hakim kreatif. Pasal-pasal hukum bukan aturan mati, rigid- kaku, tetapi perlu ditempatkan secara progresif.

Pesan Presiden Joko Widodo, agar penanganan kasus Asyani dkk berkeadilan, tidak dengan maksud mencampuri otonomi pengadilan, tetapi lebih mengharapkan perlunya dipertimbangkan faktor-faktor kemanusiaan, rasa keadilan publik, keadilan restoratif, dan hukum yang progresif.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Maret 2015, di halaman 6 dengan judul "Keadilan Nenek Asyani Dkk".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger