Surat edaran bersama ini merupakan tindakan kompromistis untuk menyiasati pelaksanaan kewajiban pendaftaran peserta jaminan kesehatan oleh pengusaha, yang dilakukan oleh dua entitas hukum yang berbeda statusnya. Sayang sekali pihak serikat pekerja tidak dilibatkan dalam kompromi yang menyangkut kepentingan pekerja atas pelayanan kesehatan yang menjamin kebutuhan medisnya.
Selain itu, juga berpotensi merugikan hak pekerja untuk mendapat manfaat atas jaminan kesehatan dan membuat dikotomi antara pengusaha anggota Apindo dan bukan anggota Apindo.
Sebagian pekerja terbuai oleh mitos keunggulan asuransi kesehatan komersial yang dinikmati sebagian kecil lapisan pekerja. Padahal, jika ditelisik dengan cermat, sulit ditemukan asuransi komersial yang mampu memberikan pelayanan kesehatan yang diimpikan itu, kecuali dengan pembayaran premi yang tinggi.
Surat edaran bersama ini berlaku untuk pengusaha yang menjadi anggota Apindo. Sementara yang bukan anggota Apindo mesti patuh pada kewajiban mendaftarkan dirinya dan pekerjanya paling lambat 1 Juli 2015.
Penyiasatan terhadap norma dalam Undang-undang Sistem Jaminan Sosial Nasional, UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan PP No 12/2013 tentang Jaminan Kesehatan
Pengertian tersebut bertentangan dengan Pasal 11 Ayat (1) PP No 12/2013
Pengawasan lumpuh
Surat edaran bersama BPJS Kesehatan dengan Apindo tidak sesuai dengan
Isi surat edaran bersama itu ternyata adalah kesepakatan tentang sembilan hal antara BPJS Kesehatan dan Apindo. Surat edaran bersama tersebut sangat janggal karena ditandatangani bersama oleh pihak yang berbeda status hukumnya, yaitu BPJS Kesehatan dan Apindo.
BPJS Kesehatan adalah badan hukum publik yang dibentuk berdasarkan UU dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kewenangannya antara lain melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas kepatuhan peserta dan pemberi kerja dalam memenuhi kewajibannyadan mengenakan sanksi administratif kepada peserta dan pemberi kerja yang tidak memenuhi kewajibannya.
Apindo, di lain pihak, adalah organisasi yang dibentuk oleh pengusaha Indonesia. Pengusahayang tergabung dalam Apindo, menurut Pasal 1 angka 9 UU BPJS, per definisi termasuk dalam kategori pemberi kerja. Berdasarkan Pasal 15 Ayat (1) UU BPJS, ia secara bertahapwajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada BPJS sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti. Kewajiban melakukan pendaftaran kepesertaan jaminan kesehatan bagi pemberi kerja pada BUMN, usaha besar, usaha menengah dan usaha kecil, paling lambat tanggal 1 Januari 2015.
Lebih janggal lagi karena Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) turut menandatangani surat edaran bersama tersebut sebagai saksi. Padahal,menurut Pasal 39 Ayat (2) a UU BPJS, DJSN adalah pengawas eksternal BPJS. Dengan kata lain, fungsi pengawasan DJSN menjadi lumpuh karena ketua DJSN ikut menandatangani surat edaran bersama tersebut sebagai saksi. Dalam hal ini, ketua DJSN turut melibatkan diri dalam pembuatan surat edaran tersebut. SeharusnyaDJSN mengawasiBPJS Kesehatan.
Perlu ditambahkan bahwasurat edaran sebagai salah satu bentuk peraturan kebijaksanaan didasarkan pada adanya kewenangan bebas (
BPJS Kesehatan sebagai badan hukum publik tidak dilekati kewenangan bebas dimaksud karena kewenangannya terikat kepada peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar eksistensi jaminan sosial. Sementara Apindo sebagai organisasi para pengusaha jelasbukan sebagai pengemban jabatan publik yang mempunyai kewenangan bebas dimaksud.
Surat edaran bersama BPJS Kesehatan dan Apindo tak mempunyai dasar hukum. Ssurat tersebut agar segera dicabut untuk menjamin kepastian perlindungan atas jaminan kesehatan kepada seluruh pekerja.
AA OKA MAHENDRA, KONSULTAN HUKUM DANMANAJEMEN JAMINAN SOSIAL DAN PELAYANAN KESEHATAN
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Maret 2015, di halaman 7 dengan judul "Surat Edaran BPJSK-Apindo dan Perlindungan Pekerja".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar