Eichmann hanyalah arsitek dari "solusi final" mekanisme Hitler mengatasi masalah Yahudi (Arendt, 1963; Harel, 1975). Hannah Arendt (1963)-filsuf modern Jerman berdarah Yahudi yang meliput langsung persidangan Eichmann-menyimpulkan ini sebagai
Mengapa umumnya koruptor tersenyum di layar kaca seperti pemain sinetron dadakan? Kaum moralis klasik berkesimpulan, mereka mengalami penumpulan sensibilitas moral secara konstan yang berdampak pada hilangnya rasa malu secara permanen. Benarkah semudah itu?
Dari pengalaman Eichmann, kita mengerti tanggung jawab atas tindakan politik selalu menjadi perdebatan. Apakah pegawai rendahan Gayus Tambunan dalam megakorupsi pajak cukup bertanggung jawab sendiri atau semestinya secara kolektif? Apakah Prasetyo, M Taufik, dan semua anggota DPRD DKI Jakarta digerakkan oleh motivasi personal atau kolektif untuk menggalang hak angket atas Basuki Tjahaja Purnama? Apakah Rp 12,1 triliun yang diduga dana siluman wujud dari ambisi personal atau sistem?
Masalah etika jabatan selalu melahirkan dua bentuk tanggung jawab: personal dan kolektif. Diminusi tanggung jawab pribadi biasa terjadi dalam konteks
Tak bisa dimungkiri, ada instink individual dalam melakukan kejahatan. Selalu ada porsi ambisi pribadi di dalam korupsi besar. Hanya saja, porsi itu tidak bisa bekerja tanpa dorongan dan penguatan oleh ambisi kolektif.
Stimulasi penjara dalam eksperimen Philip Zimbardo (1971) memberikan konfirmasi yang baik: bahwa dalam kondisi terkunci, terikat oleh hubungan otoriter yang hierarkal, imposisi aturan, dan relasi kekuasaan yang tak setara, manusia bertindak secara tertentu. Eksperimen yang seharusnya dua minggu, dihentikan pada hari keenam karena adanya kebrutalan psikologis dan fisik yang menyentuh ambang batas. Para mahasiswa yang terlibat eksperimen terkejut melihat video selama mereka dalam penjara.
Studi ini menegaskan, sistem yang kuat dan hierarki posisi yang tegas membentuk tindakan seseorang. Tesis ini penting untuk memahami bahwa moralitas personal tak begitu punya korelasi langsung dengan tindakan korupsi. Pelaku langsung korupsi politik adalah onderdil dari mesin korupsi yang melibatkan banyak tangan, posisi, dan peran. Maka, memberantas korupsi secara menyeluruh seharusnya dengan menghancurkan logika dasar dan sistem kerja dari korupsi, bukan hanya dengan memborgol tangan-tangan kelihatan.
Orientasi etis
Ada dua orientasi dalam etika, yaitu orientasi deontologis dan orientasi teleologis (Cooper, 2012). Orientasi deontologis fokus pada penegakan prinsip etis, seperti keadilan, kebebasan, dan kebenaran. Orientasi teleologis memikirkan konsekuensi lanjutan dari penegakan prinsip etis tersebut. Kaum utilitarian kebanyakan menganut alur ini.
Dalam konteks ini, kita bisa menemukan akar kemelut DPRD DKI Jakarta dan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama. Pertama, korupsi sistemik sudah menjadi
Kedua, masalah etika jabatan. Dalam sistem yang korup, prinsip etis hanyalah naskah, bukan tindakan. Terjadi krisis kesadaran teleologis dalam mengaitkan tindakan politik dengan kebaikan umum. Tindakan politik tak lebih dari sekadar "perintah sistem" sehingga ketika sistem "memerintahkan" korupsi melalui kebijakan, setiap unsur yang ada di dalam sistem akan bekerja dengan baik. Maka, tidak aneh kalau SKPD sejalan dengan DPRD dalam rapat soal anggaran!
Konflik menjadi tajam karena Basuki melihat masalah sebagai masalah, sementara lawannya sama sekali tak melihat masalah. Ini bukan soal kepura-puraan. Mereka bekerja dengan logika kolektif yang terbangun secara tak sadar sehingga mereka pun tidak sadar bahwa itu masalah.
Komunikasi adalah solusi paling murah, tetapi paling menyesatkan. Politik yang seperti ini tidak pernah bisa diselesaikan dengan dialog. Di permukaan, ini memang konflik dua kamar: eksekutif vs legislatif. Namun, di balik layar, ini perang kekuatan politik: kekuatan yang memproduksi korupsi sistemik dan kekuatan yang melawannya. Islah
Penegakan hukum adalah solusi yang ideal. Biarkan KPK bekerja menyelidiki potensi korupsi dalam APBD yang diajukan DPRD. Pembuktian itu tidak hanya menentukan salah-benar, tetapi juga memberi efek terapi jangka panjang: bahwa modus korupsi sistemik melalui kebijakan terbongkar. Pelaku lain, dalam konteks lain, akan berpikir ulang untuk melakukan praktik serupa.
BONI HARGENS DIREKTUR LEMBAGA PEMILIH INDONESIA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Maret 2015, di halaman 6 dengan judul "Etika dalam Masalah".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar