Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 09 Maret 2015

TAJUK RENCANA: Drama Eksekusi Vonis Mati (Kompas)

Sudah lebih dari seminggu media massa kita memberitakan tahapan eksekusi sembilan terpidana mati kasus narkotika di LP Nusakambangan.

Para pejabat memberikan keterangan pers. Tahanan dipindahkan dari sejumlah lembaga pemasyarakatan ke LP Nusakambangan. Dikabarkan media, pemindahan terpidana kasus narkotika asal Australia dari LP Kerobokan, Denpasar, Bali, ke Nusakambangan dilakukan dengan pesawat khusus, dikawal pesawat militer. Sembilan terpidana mati kasus narkotika telah berada di LP Nusakambangan. Presiden Joko Widodo telah menolak grasi terpidana mati. Seorang terpidana mati lain asal Filipina sedang mengajukan peninjauan kembali di Yogyakarta. Sebelumnya, Februari 2015, Pemerintah Indonesia telah mengeksekusi enam terpidana mati kasus narkotika.

Upaya diplomatik sejumlah negara, khususnya Australia dan Brasil, terus dilakukan untuk menyelamatkan warga negara mereka. Presiden Brasil Dilma Rousseff bahkan sampai menolak penerimaan surat kepercayaan yang disampaikan Toto Riyanto, calon duta besar Indonesia untuk Brasil. Presiden Jokowi pun menarik pulang Toto Riyanto. Upaya diplomatik itu wajar saja karena pemimpin negara punya tanggung jawab untuk memberikan perlindungan kepada warga negara mereka.

Kejahatan narkotika adalah kejahatan berbahaya bagi bangsa ini. Karena itu, tindakan tegas harus diberikan kepada bandar narkotika. Meski diakui hukuman mati masih menjadi hukum positif dan Mahkamah Konstitusi menyatakan hukuman mati masih konstitusional, hukuman mati tetap kontroversial. Ada pro dan kontra.

Pihak yang kontra berpendapat, hak hidup adalah hak asasi yang tidak boleh dicabut dalam kondisi apa pun. Kemungkinan terjadinya kesalahan dalam peradilan juga jadi pertimbangan. SI Poeradisastra saat memberikan pengantar dalam buku berjudulPeradilan yang Sesat karya Hermann Mostar (1983) menyebut errare humanum est, khilaf adalah insaniah. Manusia adalah sumber kekhilafan dan kekeliruan. Sebaliknya, pihak yang setuju mengatakan, hukuman mati masih menjadi hukum positif dan masih konstitusional. Hukuman mati pantas dijatuhkan karena dampak kejahatan narkotika begitu dahsyat.

Pelaksanaan eksekusi mati tidak perlu menjadi semacam drama untuk membangun citra pemimpin. Putusan peradilan harus dijalankan tanpa harus memunculkan kompleksitas baru. Itulah kedaulatan hukum. Setelah sembilan terpidana mati dikumpulkan di LP Nusakambangan, publik kemudian bertanya, kapan eksekusi mati itu akan dilaksanakan? Apakah ditunda karena ada tekanan dari negara asing? Masyarakat di sekitar Nusakambangan pun seperti ingin menonton drama eksekusi mati tersebut. Nelayan pun dibatasi untuk melaut. Padahal, dalam sejarahnya, pelaksanaan hukuman mati yang selalu kontroversial dilakukan secara rahasia dan diam-diam. Penyampaian informasi seperlunya dan secukupnya.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Maret 2015, di halaman 6 dengan judul "Drama Eksekusi Vonis Mati".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger