Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 03 Maret 2015

TAJUK RENCANA Kearifan Mengelola Air (Kompas)

Dari sisi realitas, geografi Indonesia sudah menyatakan dengan gamblang bahwa wilayah negara ini hanya sepertiga yang daratan.

Dua pertiga wilayah Indonesia berupa lautan sehingga ketersediaan air tawar untuk keperluan kehidupan sedikit dibandingkan kebutuhan yang ada.

Para bapak pendiri negara telah dengan arif melihat masalah ini sehingga disusunlah Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang bunyinya, "Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat".

Namun, dalam perjalanan Republik, kita seperti kurang memperhatikan amanat Konstitusi di atas. Di era Orde Baru, terbit Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri yang memberikan kekuasaan kepada swasta untuk mengelola sumber daya air.

Berikutnya, terbit Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang membawa semangat bahwa air tidak hanya memiliki fungsi sosial, tetapi juga fungsi ekonomi. Artinya, air berubah dari public goodsyang bisa diakses siapa pun menjadieconomic goods yang diperdagangkan.

Ketika kebutuhan pada air bersih meningkat, sedangkan negara tidak memiliki cukup kemampuan untuk menyediakannya secara memadai, sebenarnya baik-baik saja mengundang penanam modal. Namun, dalam perkembangannya, tampaknya ada yang lalu dirasakan eksesif, menimbulkan dampak bagi komunitas lebih besar.

Dilandasi semangat untuk mengembalikan peran negara, sejumlah kalangan mengusulkan uji materi atas UU No 7/2004 tentang Sumber Daya Air yang kemudian dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, Rabu (18/2). Hal ini disebut sebagai pintu masuk bagi negara untuk memenuhi hak rakyat atas air sebagaimana diamanatkan Konstitusi.

Pembatalan undang-undang ini membawa konsekuensi, di antaranya hapusnya payung hukum swastanisasi air.

Sebagai negara yang telah bertahun-tahun hidup dengan kemudahan mendapatkan air minum kemasan, bagaimana pemenuhan air selanjutnya?

Satu hal yang jelas adalah air telah menjadi sumber daya yang sangat terbatas. Seperti diramalkan kalangan futuris, di masa depan, penyebab perang bukan lagi pertikaian politik menyangkut teritorial atau ideologi, melainkan perebutan sumber daya, termasuk air.

Kini, setelah pembatalan undang-undang itu, negara bisa berperan banyak untuk melaksanakan amanat Konstitusi. Di sisi lain, negara juga tengah dikepung pelbagai masalah kebutuhan dasar, seperti pangan dan energi yang akut.

Ketika kebutuhan pada air bersih justru makin meningkat, tak bisa lain, negara harus arif dalam mengelola sumber daya vital ini. Di satu sisi memegang kendali, tetapi di sisi lain juga arif melihat kebutuhan masyarakat, yang mendesak untuk dipenuhi. Di sinilah sebenarnya swasta masih tetap bisa ikut ambil bagian.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Maret 2015, di halaman 6 dengan judul "Kearifan Mengelola Air".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger