Bukan hanya nasib sembilan juta warga Jakarta yang pembangunannya bergantung pada penetapan APBD 2015. Kebuntuan (
Sesuai dengan undang-undang, dengan tidak adanya persetujuan antara eksekutif dan legislatif dalam menetapkan anggaran, berimbas pada kerugian besar yang akan dialami warga Jakarta. Pembangunan Ibu Kota akan terhambat karena pemda hanya bisa mengeluarkan anggaran keperluan bulanan yang besarnya paling tinggi sebesar angka APBD sebelumnya.
Sebenarnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah mencoba mengatasi berbagai keterlambatan yang dialami banyak daerah selama ini. Dalam UU ini, jika sampai dengan tahun anggaran berjalan anggaran belum ditetapkan, baik kepala daerah maupun DPRD dikenai sanksi berupa tidak dibayarkannya hak-hak keuangannya. Namun, tampaknya, bagi kalangan parlemen di Ibu Kota, sanksi tidak digaji bukanlah momok.
Dana siluman
Jika ditarik ke belakang, molornya penetapan anggaran ini tak terlepas dari masa transisi pergantian anggota legislatif pada pemilu lalu. Berdasarkan catatan
Terkuak kabar, DPRD ternyata masih membahas RAPBD setelah paripurna penetapan. Pembahasan setelah paripurna jelas merupakan tindakan ilegal, ruang gelap yang dapat menjadi tumbuh suburnya para rente anggaran. Setelah paripurna penetapan anggaran, publik dan media sudah tidak memantau lagi, dengan anggapan paripurna merupakan akhir dari proses penetapan anggaran. Dari titik inilah muncul "dana siluman" usulan Dewan Rp 8,8 triliun. Pasalnya, Dewan tak mau kalah dan tetap mengusulkan RAPBD menurut versi pembahasan mereka.
Dalam konteks fungsi anggaran, memang UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara menjamin fungsi anggaran Dewan untuk mengusulkan perubahan anggaran dari sisi pendapatan dan belanja sepanjang tidak mengakibatkan defisit. Namun, kerangka hukum belum mengatur secara tegas, sejauh mana diskresi fungsi anggaran Dewan dalam mengusulkan perubahan anggaran.
Sebenarnya Dewan memiliki mekanisme jaring aspirasi sebagai dasar untuk memastikan aspirasi konstituennya yang disampaikan dalam mekanisme musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) diakomodasi dalam anggaran. Akan tetapi, Dewan yang saat ini baru bertugas belum terlibat pada saat pelaksanaan musrenbang yang merupakan dasar dalam penyusunan anggaran. Jadi, bisa dikatakan, Dewan saat ini tidak memiliki kapasitas dalam mengusulkan kegiatan dalam anggaran. Peran Dewan ini seharusnya lebih memfokuskan fungsi anggarannya untuk mengkritisi efektivitas alokasi anggaran.
Namun, apa yang dilakukan Dewan dengan mengusulkan RAPBD versinya sendiri jelas mengangkangi akal sehat publik. Fungsi anggaran Dewan tidak bisa digunakan untuk mengeksekusi anggaran. Terlebih lagi "dana siluman" ini sudah ada sejak APBD 2014. Dari hasil investigasi berbagai media terungkap, penyedia pengadaan perangkat
Sangat mungkin "dana siluman" itu telah dikapling-kapling oleh anggota Dewan dengan menyodorkan perusahaan tertentu yang bersedia memberikan kompensasi uang untuk pengadaan barang ataupun perusahaan rekanan yang memiliki keterkaitan dengan anggota Dewan tersebut.
Praktik ini sebenarnya lazim terjadi di banyak daerah. Bahkan, kasus-kasus korupsi anggaran yang melibatkan anggota DPR dalam pembahasan anggaran mengonfirmasi terjadinya praktik ini. Tak mengherankan pembahasan anggaran yang seharusnya menjadi ajang kontestasi politik terpenting setelah pemilu selalu berjalan mulus dengan berbagai kompromi dibelakangnya. Bentuk kompromi bermacam-macam, mulai dari jatah dana aspirasi, titipan "dana siluman", sampai bentuk suap.
Sejatinya, melalui pembahasan anggaran, publik dapat melihat sejauh mana arah keberpihakan partai-partai politik di legislatif dan eksekutif dalam memenuhi kesejahteraan rakyat. Praktiknya, pembahasan anggaran tak ubahnya ritual tahunan antar-elite berkuasa dalam membagi-bagi kue anggaran. Praktik ini dapat dilihat sebagai bentuk kartel politik dalam anggaran. Semua partai politik, baik pemenang pemilu maupun yang kalah, bersama-sama membajak kue anggaran untuk kepentingannya.
Dalam konteks DKI Jakarta, langkah Basuki saat ini perlu dilihat sebagai upayanya melawan kartel politik dalam anggaran. Upaya melawan kartel politik anggaran bukanlah hal gampang. Upaya transparansi yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta dengan menampilkan data APBD yang telah ditetapkan dalam dua tahun terakhir dengan cukup terperinci dalam situs web tidaklah cukup.
Menurut International Budget Partnership, setidaknya terdapat tujuh dokumen kunci anggaran yang harus dipublikasikan, seperti rancangan anggaran, anggaran yang ditetapkan,
Memang, Pemprov DKI Jakarta juga telah memublikasi RAPBD 2015 versi Pemprov dengan menggunakan
Fungsi anggaran Dewan
Ke depan, inisiatif
Dewan juga akan lebih mudah memastikan apakah suatu kegiatan di APBD merupakan usulan kebutuhan dari masyarakatnya atau bukan. Jadi, fungsi anggaran Dewan bisa lebih diarahkan untuk menjamin hasil-hasil musrenbang daerah pemilihannya diakomodasi dalam anggaran. Fungsi anggaran Dewan dalam mengusulkan perubahan anggaran menjadi lebih akuntabel sepanjang perubahan tersebut terekam dan dapat ditelusuri alasannya. Publik pun akan dapat menilai, mana Dewan yang betul-betul memperjuangkan aspirasi warganya dan perlu didukung dalam pembahasan anggaran dan Dewan yang mengusulkan "dana siluman".
Partisipasi warga juga perlu ditingkatkan dengan mengembangkan aplikasi-aplikasi
Keberanian Basuki melawan kartel politik anggaran dengan risiko dilengserkan patut didukung. Namun, upaya perlawanan ini tidak cukup dilakukan secara sporadis. Langkah komprehensif keterbukaan anggaran dan pelibatan warga bisa menjadi momentum, tidak hanya perbaikan bagi Jakarta, tetapi juga barometer bagi daerah lainnya.
YUNA FARHANMAHASISWA PHD KAJIAN INDONESIA, UNIVERSITY OF SYDNEY
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Maret 2015, di halaman 6 dengan judul "Bola Panas APBD Jakarta".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar