Kebijakan diluncurkan guna menyikapi melemahnya rupiah. Perbaikan neraca transaksi berjalan menjadi salah satu fokus karena defisit yang masih besar menyebabkan rupiah terus berada di posisi rawan.
Kebijakan yang mulai berlaku per 1 April 2015 ini meliputi paket fiskal, yakni insentif pajak bagi perusahaan dan eksportir; kebijakan anti dumping dan perlindungan produk dalam negeri; bebas visa kunjungan singkat bagi wisatawan dari 30 negara; kewajiban penggunaan bahan bakar nabati hingga 15 persen; penerapan
Sekilas, paket kebijakan diarahkan untuk menekan defisit transaksi berjalan lewat kebijakan yang mendorong ke arah penghematan devisa dan menggenjot aktivitas penerimaan devisa sekaligus menyehatkan ekonomi. Persoalannya, sejauh mana langkah-langkah ini akan mampu mengerek rupiah dalam jangka pendek?
Pelemahan rupiah menjadi keniscayaan di tengah tren penguatan dollar AS yang terjadi sejalan membaiknya ekonomi AS dan rencana kenaikan suku bunga di AS.
Sejumlah negara menyambut baik atau bahkan sengaja melemahkan nilai tukarnya untuk mendongkrak daya saing ekspor dan ekonomi dalam negerinya. Namun, untuk Indonesia, sejauh ini melemahnya rupiah tak banyak berdampak pada daya saing ekspor. Kontraksi ekspor terus terjadi. Ekspor Februari 2015 anjlok 16 persen, terutama akibat lemahnya permintaan dan penurunan harga komoditas di pasar global. Belum lagi bicara sektor jasa.
Selain tekanan eksternal, lemahnya rupiah-meski dinilai pemerintah dan Bank Indonesia masih sejalan dengan fundamental ekonomi-harus diakui juga cermin dari lemahnya struktur ekonomi dalam negeri, khususnya industri manufaktur. Akibatnya, Indonesia belum sepenuhnya mampu melepaskan diri dari ketergantungan pada ekspor komoditas yang rawan terhadap gejolak pasar dan ketergantungan pada bahan baku/barang modal impor yang sangat tinggi.
BI sendiri sebagai otoritas moneter menyiratkan kebijakan ke arah bias ketat dengan menahan suku bunga acuan. Namun, semua itu belum menjawab persoalan jangka pendek terkait rupiah. Barangkali perlu langkah lebih strategis, jika bukan ekstrem, untuk menjawab ini.
Dalam jangka menengah-panjang, respons pemerintah hendaknya juga jangan hanya menjadi semacam kebijakan pemadam kebakaran. Penguatan ekonomi domestik tak perlu menunggu krisis terjadi. Reformasi struktural yang lebih mendasar perlu terus dilanjutkan.
Kegamangan investor yang menyebabkan rupiah terpuruk tidak hanya dipicu faktor global dan defisit transaksi berjalan, tetapi juga dipengaruhi banyaknya program dan janji kebijakan pemerintah yang belum berjalan serta situasi politik kurang kondusif, yang memunculkan ketidakpastian baru bagi investor dan pelaku usaha.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Maret 2015, di halaman 6 dengan judul "Paket Kebijakan untuk Perkuat Rupiah".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar