Konflik senjata yang terjadi saat ini, antara pasukan pendukung pemerintah Presiden Abed Rabbo Mansour Hadi dan para petarung bersenjata pasukan klan Houthi, bisa menjerumuskan negeri itu, selain perang saudara berkepanjangan, juga kehancuran. Apalagi jika kekuasaan luar, baik Iran maupun negara-negara Teluk dan Arab, terlibat dalam kerangka pertarungan serta perebutan pengaruh di antara mereka.
Situasi akan lebih rumit lagi apabila ditambah tangan luar, seperti Amerika Serikat atau negara mana pun. Memang, AS sudah menarik pasukan khususnya dari Yaman—yang semula antara lain bertugas sebagai penasihat militer. Yaman oleh AS digunakan sebagai pangkalan untuk menghadapi kelompok Al Qaeda di Semenanjung Arab (AQAP). Meski sudah meninggalkan Yaman, AS masih mengoperasikan pesawat tanpa awak,
Memang, Yaman menempati posisi yang sangat strategis. Aden yang berada di ujung semenanjung bisa mengawasi perairan di Teluk Aden. Yaman bagian utara juga berbatasan dengan Arab Saudi. Karena itu, jatuhnya pemerintahan pimpinan Presiden Hadi ke tangan petarung klan Houthi juga akan menjadi persoalan bagi Arab Saudi.
Kondisi di lapangan memang memberikan gambaran bahwa pemerintah pimpinan Presiden Hadi sudah terdesak. Ibu kota Sana'a sudah direbut Houthi. Sekarang pasukan Houthi bergerak ke selatan, ke Aden, tempat konsentrasi kekuatan Hadi, setelah merebut Ta'iz.
Hal yang lebih membuat rumit krisis di Yaman adalah adanya dukungan dari sekelompok militer yang tetap loyal kepada Ali Abdullah Saleh, yang terpaksa melepaskan kekuasaannya sebagai presiden Yaman setelah berkuasa selama lebih dari dua dekade pada 2012.
Dengan demikian, menjadi jelas bahwa konflik di Yaman tersebut tidak semata-mata berbau sektarian, antara Sunni dan Syiah, tetapi juga karena perebutan kekuasaan, dendam kekuasaan. Kondisi seperti itu tak pelak lagi akan semakin melemparkan Yaman ke kancah perang saudara, yang akan bernasib seburuk Suriah saat ini.
Suriah saat ini tercabik-cabik karena, semula, perang saudara, lalu perang sektarian, dan sekarang menjadi ajang pertarungan antarkelompok bersenjata berhaluan keras. Praktis, pemerintah Presiden Bashar al-Assad "hanya" sangat berkuasa di Damaskus. Sementara bagian utara sudah dikuasai kelompok bersenjata NIIS. Situasi dan kondisi seperti itu bukan mustahil akan menimpa Yaman juga.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Maret 2015, di halaman 6 dengan judul "Yaman di Tepi Kehancuran".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar