Sejak pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, industri kreatif digadang-gadang mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Bahkan, pada 2009, secara khusus SBY membentuk Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Namun, sayang, kementerian ini seolah berjalan di tempat. Tak mampu memberikan sumbangan berarti bagi sektor perekonomian bangsa.
Kementerian ini pada 2010 hanya menyumbang 6 persen dari produk domestik bruto (PDB) dan pada 2014 naik tipis menjadi 7 persen dari PDB. Sebagai kementerian anyar memang masih terlihat kurang pengalaman. Kementerian ini justru sibuk menggelar lomba, pameran, dan lokakarya karya-karya seni. Tak jauh berbeda dengan kegiatan yang dilakukan lembaga, badan, dan instansi seni lain. Walhasil, kementerian ini hanya sebatas mengandalkan program-program yang dirasa usang alias tanpa warna baru. Bahkan, terkesan menghabiskan anggaran semata.
Presiden Jokowi berusaha membenahi sektor ini. Namun, jika kegiatan yang dimunculkan Badan Ekonomi Kreatif (BEK) masih meniru dan mengulang program lembaga sebelumya, dapat diperkirakan badan ini tak akan memberikan kontribusi yang signifikan. Dibutuhkan sentuhan kreatif agar program yang dimunculkan mampu menarik simpati pasar.
Maklum, industri kreatif di Indonesia dewasa ini berhadapan dengan masalah pelik, terutama pembajakan. Sebutlah industri musik, misalnya, hari ini satu karya dibuat, besok ribuan karya bajakannya tersebar. Internet menjadi salah satu ruang yang mempermudah praktik pembajakan karya ini. Setiap orang dapat langsung mengunduh gratis dengan hanya sekali sentuh. Akibatnya, banyak rumah produksi rekaman gulung tikar karena terus merugi. Musisi yang karyanya dikenal luas tak mendapat royalti sepadan. Pajak yang harusnya dialokasikan untuk negara makin berkurang jumlahnya.
Di satu sisi, hal tersebut jadi pekerjaan rumah yang tak kunjung usai bagi BEK. Di sisi lain, kini anggaran yang didapatkan lembaga ini hanya Rp 1 triliun, jauh di bawah lembaga dan institusi terdahulu. Dengan minimnya dana, otomatis program yang akan digelar haruslah matang dan terencana baik, serta jelas tolok ukur keberhasilannya.
Kita tentu dapat berguru pada negara-negara lain yang telah mampu mengembangkan industri kreatifnya. Sebutlah Singapura dan Malaysia dengan pariwisatanya, Jepang dan Thailand dengan restorannya yang tersebar di banyak negara di Eropa, serta Korea Selatan dengan industri film dan musiknya.
Dari segi kesenian, hampir setiap daerah memiliki ragam seni yang unik dan khas. Namun, tak mampu dipromosikan secara baik. Selama ini yang dikenal hanya Bali, di luar itu masih belum tersentuh. Dari segi mode, batik memiliki peluang yang besar, tinggal bagaimana mengemas dan mengolahnya agar lebih dikenal masyarakat dunia. Itu semua tidak akan berjalan tanpa keseriusan dan dukungan besar dari Presiden Jokowi.
Yang ditekankan dari industri kreatif adalah kreativitas. Membuat sesuatu yang sudah ada menjadi lebih istimewa. Sayangnya, selama ini yang dihargai hanya aspek kekaryaan berupa hasil karya. Di bidang kesenian, misalnya, seniman sebagai kreator jarang sekali mendapatkan penghargaan lebih. Perhatian pemerintah berupa perlindungan terhadap seniman masih angin- anginan. Seniman dilirik sejauh mampu menghasilkan karya bermutu. Selebihnya, pemerintah sama sekali tak terlibat dalam proses dan perjalanan panjang dalam membuat karya itu.
Makelar seni
BEK idealnya tidak hanya bertindak sebagai makelar atau cukong seni, menimbun dan mengumpulkan karya seni kreatif kemudian menjualnya dengan harga selangit. Akan tetapi, juga turut terlibat dalam merangsang atau membangun sisi kreatif seniman. Salah satunya dengan memperhatikan nasib mereka.
Dengan demikian, industri kreatif adalah proyek jangka panjang yang akan senantiasa berkelanjutan, bukan hasil instan. Bukan pula musiman: hari ini dibentuk, besok sudah mampu memajang dan menjual banyak karya, seolah hanya menjadi tengkulak barang dagangan.
Kreativitas tak dapat ditentukan oleh waktu. Dibutuhkan kesabaran dan ketekunan untuk menghasilkan karya yang baik dan unggul. Paling penting adalah kesadaran menghargai proses yang baik dan jujur. Contohnya, jangan semata melihat keberhasilan industri musik dan film Korea yang digandrungi dunia saat ini, tetapi lihatlah bagaimana proses dan jejak sejarah panjang pemerintah ataupun pihak terkait dalam membangun industri itu. Intinya, tirulah kesungguhan proses, bukan hanya hasil.
Ironisnya, selama ini kita justru semata meniru hasil, bukan laku proses. Akibatnya, Indonesia menjadi bangsa peniru alias penjiplak. Mustahil kita dapat bersaing dengan negara lain jika hanya membajak karya mereka tanpa sentuhan karya kreatif sama sekali. Sementara banyak karya kreatif bermutu hasil anak negeri yang selama ini luput dari perhatian pemerintah.
Kita bisa melihat bagaimana musik karinding dan wayang tafip di Bandung yang mulai dilirik pasar. Banyak rumah sakit jiwa dan penjara di Inggris serta Perancis yang berbondong-bondong memesan gamelan di Bekonang, Jawa Tengah, sebagai sarana terapi psikologis pasien dan narapidana (lembaga yang bergerak di bidang ini bernama Good Vibrations). Festival musik etnik yang mampu menyedot ribuan penonton dan penampil dari luar negeri. Jika BEK tanggap, semua itu dapat jadi lahan yang berpotensi untuk digarap. Salah satunya dengan membuat regulasi sertifikasi bagi produk-produk yang dianggap layak.
Namun, bagaimanapun, dengan terbentuknya lembaga ini mengharuskan karya seni diukur dengan hitung-hitungan angka untung-rugi. Karya seni sebagai bagian penting dari kebudayaan menjadi begitu komersial dengan dilabeli banderol harga. Ekonomi kreatif kemudian semata berbicara tentang harga sebuah karya. Muaranya adalah kapitalistik.
Hal ini menjadi tantangan BEK, tak semata menjual, tetapi juga menjaga keseimbangan iklim kebudayaan negeri ini. Itu semua dapat berjalan jika kepengurusan BEK tidak semata berpikir kapitalis alias mengejar setoran. Dalam setiap kegiatan yang hendak digelar dapat didiskusikan terlebih dahulu dengan semua elemen dan pihak-pihak yang memiliki kepentingan. Dengan demikian, BEK tak hanya menjadi lembaga yang mampu memayungi karya-karya kreatif, tetapi juga para kreator seperti seniman.
ARIS SETIAWAN
PENGAJAR DI INSTITUT SENI
INDONESIA (ISI) SURAKARTA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Maret 2015, di halaman 7 dengan judul "Tantangan Badan Ekonomi Kreatif".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar