Dalam beberapa hari terakhir ini kepada kita dipertontonkan polemik anggaran yang terjadi antara Pemerintah Provinsi DKI dan DPRD DKI.
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menyatakan bahwa terdapat pengeluaran-pengeluaran dengan nilai total Rp 12,1 triliun yang sebelumnya tidak masuk dalam RAPBD yang diajukan Pemprov DKI. Kisruh antara DPRD dan Gubernur DKI Jakarta terkait penyusunan APBD ini masih berkepanjangan. Bahkan, upaya mediasi yang di-prakarsai Kementerian Dalam Negeri belum menghasilkan solusi atas polemik tersebut. Menurut pengakuan Basuki, adanya perbedaan antara anggaran versi Pemprov DKI dan anggaran versi DPRD dapat diidentifikasikan melalui
E-budgeting
E-budgeting
Anggaran dalam era reformasi pelayanan publik
Era New Public Management (NPM) merupakan era reformasi pelayanan sektor publik yang terjadi di sejumlah negara. NPM merupakan gagasan yang diusung Hood (1991) yang merupakan pendekatan pemodernisasian kebijakan-kebijakan sektor publik sehingga pola pengelolaannya berorientasi pada pasar dan akan meningkatkan efisiensi biaya bagi pemerintah.
NPM memiliki orientasi terhadap hasil (
Dalam era NPM, pemerintah dituntut menerapkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik yang mencakup, di antaranya, akuntabilitas dan transparansi. Anggaran merupakan salah satu mekanisme utama dalam menjalankan prinsip akuntabilitas dan transparansi. Anggaran pada sektor publik sering kali dilihat dari tiga perspektif yang berbeda, yaitu perspektif ekonomi, manajemen, dan politik. Perspektif ekonomi sering kali berfokus pada efisiensi anggaran dan alokasi dari jasa dan benda yang disediakan oleh pemerintah. Perspektif manajemen mengaitkan anggaran dengan administrasi publik, di mana anggaran merupakan proses yang bersifat teknikal. Sementara perspektif politik sering kali menitikberatkan dimensi politik dalam alokasi sumber daya dan peran anggaran dalam proses pengambilan keputusan politik (Hackbart dan Ramsey, 2002). Perspektif politik sering kali membuat anggaran tersandera oleh berbagai kepentingan, yang berlawanan dengan tujuan utama dalam NPM, yaitu kualitas pelayanan publik yang baik.
Pada era NPM ini masyarakat menjadi lebih kritis dan menuntut pemerintah untuk dapat lebih memberikan pelayanan publik yang lebih baik, termasuk di antaranya menuntut adanya transparansi dan akuntabilitas dari pemerintah. Hal ini didukung oleh arus informasi dan kekuatan media dalam memonitor proses penganggaran tersebut.
Korupsi pengadaan
Apabila dilihat dari postur anggaran sektor publik di Indonesia, jumlah pengadaan barang dan jasa di institusi publik rata-rata mencapai 15-30 persen dari PDB. Besarnya nilai pengadaan barang dan jasa di institusi pemerintah tersebut merupakan potensi risiko yang sangat tinggi untuk terjadinya korupsi. Bank Dunia bahkan menyatakan bahwa korupsi di pengadaan pemerintah paling luas dan merajalela. Nilai korupsi yang terjadi dapat mencapai 10-50 persen dalam proses pengadaan barang.
Besarnya kerugian akibat korupsi diperkirakan mencapai 10-25 persen pada skala normal. Dalam beberapa kasus, kerugian yang ditimbulkan dapat mencapai 40-50 persen dari nilai kontrak. Belum lagi termasuk kerugian ekonomis akibat tidak tepat sasarannya pengeluaran pemerintah yang akan membuat pengeluaran pemerintah tersebut tidak dapat secara efisien meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat.
Korupsi dalam pengadaan barang dan jasa dilakukan secara terorganisasi dengan tahapan yang bisa jadi cukup panjang. Proses anggaran merupakan tahapan awal yang merupakan tahap penilaian atas kebutuhan/penentuan kebutuhan.
Dengan menggunakan sistem
Global Corruption Report tahun 2003 menyatakan bahwa
Namun, mengingat kompleksnya aspek korupsi itu sendiri tampaknya tidak akan ada satu obat yang mujarab yang dapat berdiri sendiri. Pada kenyataannya korupsi di Indonesia telah mengakar dalam seluk beluk budaya, politik, dan ekonomi masyarakat. Meskipun teknologi informasi sering kali terbukti dapat membantu mendeteksi dan menghindari terjadinya korupsi, diperlukan pendekatan yang lebih holistik yang mencakup baik desain sistem informasi maupun faktor organisasi dan kepemimpinan, lingkungan, dan institusional dalam mengimplementasikan sistem pengendalian atas korupsi.
Pada akhirnya kebijakan apa pun, baik yang bersifat langkah yang besar maupun yang bersifat hanya solusi parsial, untuk menahan laju korupsi adalah kebijakan yang layak dilakukan. Dengan cara apa pun korupsi harus dilawan.
RATNA WARDHANI
Ketua Program Studi S-1 Ekstensi Akuntansi dan Pengajar "Good Governance" pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 April 2015, di halaman 7 dengan judul ""E-Budgeting" dan Korupsi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar