Sengkarut informasi yang beredar di publik terkait kebijakan strategis adalah satu bentuk dari sekian banyak keteledoran Presiden dalam mengelola lembaga kepresidenan. Bagi penyelenggaraan pemerintahan, ini ancaman serius terhadap implementasi program-program strategis, termasuk kebijakan anti korupsi yang digadang-gadangkan oleh Presiden. Ancaman ini bukan tak mungkin akan jadi faktor pemicu gejolak politik yang lebih luas, baik di parlemen maupun di kalangan masyarakat umum.
Jika ditelisik ke belakang, setidaknya ada beberapa catatan buruk Presiden dalam mengelola lembaga kepresidenan. Pertama, perintah untuk menghentikan kriminalisasi terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi dan para pegiat anti korupsi. Dalam praktiknya, instruksi ini di internal pemerintah diterjemahkan secara beragam. Bahkan, dalam takaran tertentu bisa dianggap telah terjadi pembangkangan terhadap instruksi tersebut.
Kedua, kebijakan pengetatan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Di rezim sebelumnya, kebijakan ini ditopang peraturan pemerintah yang ditujukan terhadap kejahatan- kejahatan yang dikategorikan sebagai kejahatan serius atau lazim disebut juga sebagai kejahatan luar biasa, yaitu korupsi, terorisme, dan narkotika.
Dalam perkembangannya, kebijakan pengetatan ini justru dilihat sebagai bentuk diskriminasi terhadap pelaku tindak pidana, bergulirlah usulan agar kebijakan ini dibatalkan. Menteri Hukum dan HAM, dalam berbagai pernyataan di media, secara tidak langsung menjadi pendukung utama atas inisiatif ini.
Dalam konteks kebijakan pemberantasan korupsi, usulan ini sangat berlawanan dengan inisiatif rezim pemerintahan Jokowi yang telah disepakati dalam dokumen perencanaan pembangunan (RPJMN). Salah satu strategi dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi melalui harmonisasi terhadap kebijakan anti korupsi dengan Konvensi Anti Korupsi (UNCAC) yang telah diratifikasi oleh Indonesia.
Kebijakan pengetatan ini adalah salah satu bentuk
Ketiga
Bagi publik, penambahan fasilitas ini sangat jelas jadi bagian dari bentuk legalisasi pemborosan keuangan negara. Pada sisi yang lain, lahirnya kebijakan ini harus dilihat sebagai bentuk keteledoran lembaga kepresidenan secara keseluruhan dalam pengambilan kebijakan
Realitas di atas hanya sebagian dari sekian banyak bentuk "disharmoni" di dalam lembaga eksekutif atau lembaga kepresidenan. Presiden sebagai pimpinan dari lembaga kepresidenan seharusnya memegang kendali atas setiap keputusan atau kebijakan strategis yang akan dilahirkan.
Presiden harus mengendalikan wakil presiden, menteri- menteri, kepala lembaga, dan seterusnya. Menurut konstitusi mereka adalah para pembantu presiden. Dan, bagi para pembantu presiden, berlakulah sesuai mandatnya dalam kapasitas sebagai pembantu presiden.
Pernyataan-pernyataan yang dilontarkan kepada publik oleh para pembantu presiden seharusnya tidak berlawananan dengan apa yang diucapkan Presiden atau bahkan dengan kebijakan yang telah disepakati sebelumnya. Jika tidak, akan sulit dibantah bahwa telah terjadi insubordinasi di dalam lembaga kepresidenan.
Pada titik yang paling kritis, ketidakmampuan Presiden dalam mengelola lembaga kepresidenan akan dimanfaatkan oleh pihak-pihak di lingkaran kekuasaan Presiden untuk mengambil manfaat atas kekisruhan yang terjadi. Bukan tidak mungkin insubordinasi ini akan berkembang sebagai bagian dari upaya sistematis untuk mengambil alih kekuasaan. Semoga saja tidak!
REZA SYAWAWI
PENELITI HUKUM DAN KEBIJAKAN TRANSPARENCY INTERNATIONAL INDONESIA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar