Wajar kalau muncul pertanyaan seperti itu. KAA dilaksanakan 60 tahun silam. Waktu itu situasi dan kondisi dunia sangat berbeda dengan sekarang. Dunia dikuasai oleh persaingan dua kutub kekuatan, yakni antara Timur dan Barat, antara komunisme dan kapitalisme; masih kuatnya nafsu imperialisme, kolonialisme, masih banyaknya negara yang belum merdeka, kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan meluas, serta konflik rasialisme.
Kondisi seperti itulah yang antara lain mendorong pelaksanaan KAA, atas gagasan dan prakarsa Indonesia. Semua itu tecermin dalam hasil KAA yang dirumuskan dalam Dasasila Bandung. Kondisi dunia saat itu menjiwai hasil konferensi. Lahirnya Dasasila Bandung menegaskan bahwa negara-negara peserta KAA (29 negara) mampu keluar dari tekanan bipolarisme Perang Dingin. Mereka tidak memilih Timur atau Barat, tetapi memilih jalan dan strategi sendiri dengan panduan Dasasila Bandung.
Kini, setelah 60 tahun, dunia sudah berubah: gelombang demokratisasi menyapu dunia setelah Uni Soviet runtuh (1991) yang disusul dengan berakhirnya Perang Dingin. Telah muncul nilai-nilai baru yang dianut banyak negara. Bipolarisme telah menjadi multipolarisme; ada banyak pusat kekuatan dunia, yang tidak semata-mata didasarkan pada kekuatan militer. Kesadaran akan perlu dan pentingnya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan serta perlindungan hak-hak asasi manusia semakin meluas. Kondisi perekonomian dunia juga sudah berubah.
Pendek kata, dunia sudah berubah! Ada yang berubah menjadi lebih baik, tetapi banyak juga yang menjadi lebih buruk, atau sekurang-kurangnya tetap buruk seperti dulu. Kita bisa melihat dari 29 negara peserta, masih ada banyak negara yang belum "menikmati" hasil KAA. Kita ambil contoh Yaman, yang saat ini situasi dan kondisinya begitu buruk, dibelit perang saudara. Kondisi Libya sama buruknya. Suriah di ambang kehancuran. Masih banyak negara di Afrika yang tidak hanya didera perang suku, etnis, tetapi juga kesulitan ekonomi, dilanda berbagai penyakit.
Apakah itu berarti bahwa tujuan mulia diadakannya KAA dulu tidak berhasil? Apalagi kolonialisasi sampai kini masih ada, seperti yang dialami Palestina. Kolonialisasi politik barangkali tidak sebanyak dulu, tetapi muncul kolonialisasi ekonomi, sangat nyata. Perang Dingin hilang digantikan perang melawan terorisme.
Kiranya, Indonesia yang dulu memprakarsai KAA mempunyai tanggung jawab moral untuk menghidupkan kembali dan memperjuangkan Dasasila Bandung, benar-benar dapat diwujudkan. Perayaan saja tidak cukup.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 April 2015, di halaman 6 dengan judul "Merenungkan Perayaan KAA".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar