Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 07 April 2015

Kesehatan Sejati Ada di Dapur, Bukan di Restoran (HANDRAWAN NADESUL)

Organisasi Kesehatan Dunia memilih tema Hari Kesehatan Dunia 7 April 2015 "Keamanan Pangan". Hampir semua penyakit yang diderita orang saat ini—di mana pun di dunia—lebih karena yang orang makan makanan yang salah. Bukan saja penyakit metabolik, bahkan kanker pun faktor makanan menjadi pencetusnya.

Dunia memikul beban tingginya penyakit karena yang dimakan tidak bersih sehingga angka diare dan keracunan makanan masih tinggi. Selain itu bahaya pemakaian bahan tambahan pangan merajelela tak terkendali dalam industri makanan, dan celakanya selera lidah orang sekarang pada menu yang sudah kehilangan nutrisi.

Bersih, aman, bernutrisi

Keamanan pangan belum menjadi perhatian semua negara. Tidak semua makanan yang tiba di piring makan di rumah dinilai aman bagi tubuh. Bagaimana bahan makanan dibudidaya, diternak, dipupuk, dipestisida, diberi pakan, disembelih, dan didistribusi, belum semuanya aman selain belum tentu menyehatkan.

Sama-sama gado-gado, misalnya, betul bernutrisi, tetapi belum tentu juga sama bersihnya, atau sama aman semua bahan bakunya. Sayur-mayurnya apakah organik dan bukan dipupuk kimia? Kacang tanahnya sudahkah busuk oleh kapang sehingga mengandung aflatoxin, pencetus kanker hati? Tahu dan terasinya apa tidak dicampur formalin? Warna kesumba kerupuknya apa bukan pewarna tekstil rhodamin B yang bisa menjadi pencetus kanker juga? Masyarakat kita masih dikepung oleh itu semua, tanpa mereka tahu, apalagi menyadarinya.

Foodborne disease, penyakit yang ditularkan lewat makanan, masih menjadi beban pemerintah/negara dengan sanitasi buruk, dan standar kebersihan perorangan yang belum tinggi. Lebih 10 jenis penyebab diare mengancam masyarakat kita, bahkan di kota besar sekalipun, dari makanan dan minuman tercemar.

Kalangan kelas menengah kita pun, yang makan siang di warung nasi dan restoran, diragukan bukan saja nilai gizi dan kebersihannya, terlebih apakah aman sebagai menu. Taruhlah mereka bisa memilih yang lebih higienis, tetapi bagaimana minyak gorengnya, berapa dituangkan penyedapnya, dan seberapa asin, yang bila tidak menyehatkan dapat mencetuskan penyakit juga. Darah tinggi di kita, misalnya, lebih karena asupan garam dapur melebihi kebutuhan tubuh.

Menu tergolong tidak aman bila kurang steril, tercemar bibit penyakit lewat limbah dapur, atau tangan penjaja (food handler) karena disajikan pakai tangan. Buah dingin yang dijajakan rata-rata tercemar kuman coli dari air kali. Masih untung perut orang kita kebanyakan kebal, saking sering mengonsumsi pangan tercemar. Orang Singapura, terlebih Eropa yang perutnya steril, air minum kita saja berisiko bikin mereka mencret, apalagi makan ketoprak atau rujak cingur yang disajikan secara sembarangan.

Ngeri membayangkan sepuluh tahun ke depan nasib anak sekolah kita yang sehari-hari minum sirup warna kuning atau kesumba kinclong pewarnanyamethylene yellow dan rhodamin B berisiko bikin kanker. Boleh jadi juga mereka mengonsumsi jajanan dicampur pemanis buatan yang sudah dilarang, atau—seperti hasil investigasi yang ditayangkan sebuah program TV—jajanan anak sekolah dibuat dari sampah dapur restoran dan hotel, sungguh bikin kita miris. Alasan masuk akal adanya anjuran agar anak sekolah membawa bekal dari rumah.

Jajanan gorengan bukan hanya minyaknya yang tidak jelas apakah aman, terlebih bila minyak panasnya dicampur kantung plastik dengan tujuan agar garing. Bahan plastik bersifat karsinogen atau pencetus kanker juga. Kuah panas restoran pun diwadahi kantung plastik tergolong tak aman bagi kesehatan. Termasuk pemakaian styrofoam untuk makanan panas. Hampir tidak ada yang aman jajanan dan menu di luar rumah kita.

Lidah angkatan generasi XYZ (platinum generation) sekarang ini terbentuk oleh selera menu siap saji, menu ampas (junkfood), tak suka lodeh, pepes, dan lalapan seperti menu nenek moyangnya yang kini diakui lebih menyehatkan, diperkirakan melahirkan generasi kurang gizi tersembunyi (hidden hunger).

Badan mereka betul bongsor, tetapi bila diperiksa kekurangan sejumlah nutrien akibat menu hariannya cenderung menu ampas sebab kehilangan sebagian unsur nutrisinya. Begitu galibnya terjadi di masyakarat yang menunya kebarat-baratan. Di situ perlunya sejak kecil menciptakan lidah menu nenek moyang kita.

Investigasi Badan Pengawas Obat dan Makanan belakangan ini masih menemukan bahan berbahaya dalam makanan dan bahan makanan yang dijual di pasar. Mi, kikil, tahu, bakso, ikan laut, ayam tiren (mati kemaren), bahkan bubur ayam pun dicampur kimia pengental yang tak aman. Ikan asin disemprot obat nyamuk, sementara es batu dibuat dari air kali tanpa dimasak.

Masyarakat cerdas memilih

Tangan pemerintah kelewat pendek untuk menjangkau begitu luas masyarakat yang perlu dilindungi terhadap ancaman bahaya pangan tak aman. Bagaimana mungkin mengawasi luas dan banyaknya sebaran industri makanan dan minuman rumahan yang nakal. Restoran besar pun masih kurang terjaga higienisnya: menaruh es batu di depan lantai WC, mencuci piring dekat kamar mandi.

Belum semua masyarakat tertata pola hidup bersihnya. Mayoritas belum cukup wawasan gizi dan kemampuan mencegah infeksiya. Saatnya bagaimana membentuk kebiasaan makan dengan kepala, bukan dengan hati. Ia harus masuk kurikulum pendidikan kesehatan sekolah, sebagaimana silabus di semua negara maju: bahwa, makan tak cukup sekadar kenyang, terlebih harus bersih, aman, dan bernutrisi. Ini alasan lain bagi pekerja agar membawa bekal makan siang di kantor dari rumah.

Masyarakat perlu terus diedukasi. Kuncinya pada penyuluhan. Media massa, radio, dan TV paling tepat guna mengedukasi bagaimana memilih makanan minuman yang menyehatkan. Hanya bila masyarakat cerdas memilih, semua produk yang tidak aman, tidak bersih, dan tidak bernutrisi akan kehilangan pelanggan, lalu dengan sendirinya gulung tikar.

Namun, penjualan produk yang merugikan masyarakat itu akan terus berlangsung apabila masih tetap ada permintaan. Sebab, akibat ketidaktahuannya, masyarakat masih membeli yang serba tidak sehat itu. Sukar kalau hanya mengandalkan pemerintah merazia industri makanan "nakal" tanpa dibarengi membangun masyarakat cerdas memilih pangan yang menyehatkan.

Dalam satu dasawarsa ke depan, dunia akan kehilangan 400 juta orang yang mati prematur, sebab keliru memilih gaya hidup (Sydney Resolution, 2008). Salah satu gaya hidup yang tidak tepat itu lantaran apa yang masyarakat makan salah. Menu lebih banyak daging (animal based diet) ketimbang sayur-mayur (plant-based diet) menambah penyakit metabolik, selain kanker, karena yang manusia makan menyalahi kodrat tubuhnya.

Kodrat tubuh manusia butuh lebih banyak sayur-mayur dan buah, sedikit saja daging (mediterranean diet). Namun, orang sekarang lebih banyakmakan daging ketimbang sayur-mayur dan bebuahan (tiger diet), karena itu dirundung penyakit yang menjadikan umurnya tidak sepanjang orang Okinawa, nelayan Jepang yang centenarian,berumur seratusan tahun.

Dari nelayan Okinawa dunia kedokteran (Harvard Medical School) belajar bagaimana bisa panjang umur. Ternyata bukan bistik, melainkan nasi, tempe, tahu, ikan, sayur lodeh, serta lalapan yang menyehatkan. Bukan donat melainkan ubi rebus. Bukan buah impor melainkan buah lokal. Bukan gula pasir melainkan gula jawa. Bukan terigu, tetapi gandum.

Dunia dirangsek oleh kian meningkatnya pemakaian ratusan bahan kimia industri makanan. Sukar mengelak dari aneka macam pencemar dan bahan berbahaya pada makanan dan minuman kita. Sikap kita seyogianya berpihak kepada pilihan mengolah menu harian sendiri. Jelas bahan bakunya berkualitas, jelas cara olahnya tanpa zat tambahan yang membahayakan, jelas pula cita rasanya. Bahwa sejatinya kesehatan itu ada di dapur dan bukan di restoran.

HANDRAWAN NADESUL

DOKTER, MOTIVATOR KESEHATAN

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 April 2015, di halaman 7 dengan judul "Kesehatan Sejati Ada di Dapur, Bukan di Restoran".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger