Kamis (2/4), Iran dan enam negara, yakni Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Rusia, Tiongkok, ditambah Jerman, mencapai garis besar persetujuan setelah berunding di kota Lausanne, Swiss. Kesepakatan dimaksudkan untuk mengerem program nuklir Iran yang selama ini dicurigai untuk membuat senjata pemusnah massal. Iran pada satu titik menerima kesepakatan karena dampak sanksi negara-negara Barat telah menimbulkan efek buruk.
Sekembali ke negaranya, Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif dan pimpinan juru runding, Abbas Araghchi, disambut meriah. Keduanya, sebaliknya, berterima kasih kepada pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, yang telah memberi arahan tim perunding.
Sebagai negara yang mengharapkan perdamaian dunia yang bebas dari senjata nuklir, kita tentu menyambut baik kesepakatan nuklir ini. Namun, kita juga menunggu, bagaimana persetujuan akhir diformalkan 30 Juni nanti.
Lebih jauh lagi dilihat, bagaimana kesepakatan dapat diterima, dijalankan, dan dipatuhi pihak-pihak terlibat. Kita juga awas sejak awal, ada faktor-faktor berpotensi membuat kesepakatan ini tidak operasional.
Pertama-tama bisa dilihat dari sisi internal Iran. Di dalam negeri Iran masih ada pihak yang tidak setuju. Kesepakatan ini dinilai menggagalkan impian Iran memiliki senjata nuklir, menandingi Israel di Timur Tengah. Namun, ada tanda-tanda, termasuk dari Khamenei, yang memberi sinyal positif terhadap kesepakatan.
Enam kuasa besar yang terlibat perundingan pun punya pandangan beragam. Pengamat masalah strategis, Dilip Hiro (dalam kolomnya di YaleGlobal-London/JP, 4/4), menyebutkan, perundingan panjang kemarin menyibakkan perbedaan di antara negara-negara kunci anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Rusia dinilai lebih condong pada Iran, sementara Perancis bersikukuh mencapai kesepakatan yang tegas dengan pemeriksaan terperinci. Sementara Tiongkok mendesak semua pihak saling memberi dan AS tampil sebagai pusat perundingan.
Yang keras adalah reaksi Israel, yang menilai kesepakatan sebagai "kekeliruan bersejarah". Meski Israel diyakini telah memiliki senjata nuklir, negara ini masih beranggapan, adanya kesepakatan dengan Iran bisa mengancam kelangsungan hidup negara Yahudi ini. "Kerangka (kesepakatan) ini merupakan satu langkah ke arah yang sangat, sangat berbahaya," ujar Juru Bicara Pemerintah Israel Mark Regev.
Dari uraian di atas tampak bahwa mencapai satu kesepakatan umum yang belum final sudah rumit. Akan tetapi, yang tidak kalah rumit adalah membuat kesepakatan yang sulit dicapai itu diterima dan diterapkan.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 April 2015, di halaman 6 dengan judul "Tentang Kesepakatan Nuklir Iran".
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar