Adapun "penambahan kekayaan tak sah" (untuk selanjutnya disebut PKTS) berasal dari istilah
Ketentuan hukum di Indonesia pada saat ini belum menjadikan
Tahun 1964, Argentina dan India merupakan negara pertama pencetus PKTS. India mendefinisikan PKTS sebagai memiliki sumber-sumber "di mana pejabat/penyelenggara negara yang keuangannya tidak memuaskan". Sementara di Argentina disebut sebagai suatu kegagalan "pembenaran asal-usul penambahan kekayaan untuk dirinya sendiri ataupun kepada pihak ketiga".
Setelah 20 tahun sejak dicetuskan, PKTS telah diperkenalkan di beberapa negara, seperti Brunei, Kolombia, Ekuador, Mesir, Republik Dominika, Pakistan, dan Senegal. Pada 1990 paling tidak ada 10 negara yang mengatur kriminalisasi terhadap PKTS. Tahun 2010, sudah lebih dari 40 negara yang menempatkan PKTS sebagai tindak pidana.
Konvensi-konvensi internasional juga telah menetapkan PKTS sebagai dasar bagi setiap negara untuk dipertimbangkan dimasukkan ke peraturan perundang- undangan, sebagai salah satu upaya pengembalian aset hasil tindak pidana, khususnya tindak pidana korupsi. Di antaranya dalam Inter-American Convention Against Corruption (IACAC) disetujui tahun 1996; African Union Convention on Preventing and Combating Corruption (AUCPCC), tahun 2003; dan Economic Community of West African States (ECOWAS) Protocol Fight Against Corruption, tahun 2001.
Masih segar dalam ingatan kita, di Indonesia seorang pegawai Direktorat Jenderal Pajak dengan golongan IIIA, tetapi memiliki harta berupa uang Rp 25 miliar di rekeningnya. Ia juga menyimpan uang asing senilai Rp 60 miliar dan perhiasan senilai Rp 14 miliar di brankas bank atas nama istrinya. Semua itu dicurigai sebagai hasil yang tak sah.
Selain itu, eks Kepala Korps Lalu Lintas Polri Inspektur Jenderal Djoko Susilo diketahui memiliki aset Rp 54,625 miliar. Padahal, penghasilan terdakwa sebagai anggota Polri tahun 2003-2010 sebesar Rp 407 juta dan penghasilan di luar itu Rp 1,2 miliar. Ia pun dijerat dengan tindak pidana korupsi dan pencucian uang.
Jika memiliki peraturan tentang PKTS, dapat dipastikan para pejabat negara dan penyelenggara negara dapat dengan mudah dipidana karena peningkatan hartanya yang signifikan, yang seharusnya dijelaskan dan dipertanggungjawabkan asal-usul harta tersebut. Saat ini konsep pencucian uang dan tindak pidana korupsi pembuktiannya masih menggunakan beban pembuktian bagi penuntut umum. Sebaliknya, dengan konsep PKTS, pembuktian itu dibebankan kepada orang yang hartanya terdapat penambahan yang signifikan itu.
Pembuktian terbalik
Pembuktian terbalik menjadi instrumen yang sangat dibutuhkan dalam kriminalisasi PKTS. Penyelenggara negara ataupun PNS yang diduga memiliki penambahan kekayaan cukup signifikan harus membuktikan sendiri di persidangan asal-usul harta kekayaannya. Ia harus memberikan bukti yang cukup dan dapat meyakinkan hakim bahwa kekayaannya berasal dari pendapatan yang sah dan wajar.
Pembuktian terbalik memang bertentangan dengan konsep praduga tak bersalah. Sebab, dalam pembuktian terbalik, tersangka sudah dijadikan pihak yang bersalah, sampai dia sendiri dapat membuktikan bahwa dia tidak bersalah.
Penerapan hak asasi seseorang yang disita hartanya tanpa ada suatu keputusan peradilan juga dapat jadi pelanggaran hak asasi orang tersebut. Oleh karena itu, di beberapa negara hal ini tidak dapat diterima sebagai suatu sarana untuk pemberantasan tindak pidana korupsi.
Namun, berdasarkan definisi yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di beberapa negara dan konvensi- konvensi internasional tentang PKTS, disebutkan ada lima unsur yang harus dipenuhi dalam kriminalisasi PKTS. Pertama, orang yang diuntungkan. Kedua, jangka waktu keuntungan yang didapatkan. Ketiga, hubungan dengan harta kekayaan yang meningkat secara signifikan. Keempat, intensitas (secara sadar dan memiliki pengetahuan). Kelima, perbuatan melawan hukum. Jika semua unsur tersebut terpenuhi, dipastikan penerapan PKTS dapat diterapkan kepada subyek pejabat publik yang memiliki peningkatan kekayaan yang signifikan secara tidak sah.
Melihat situasi pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia saat ini, perlu dipertimbangkan untuk menerapkan konsep- konsep Pasal 20 UNCAC 2003, yang telah diratifikasi, dimasukkan ke sistem perundang-undangan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Penerapan PKTS tentu harus dilengkapi dengan instrumen penerapan laporan kekayaan harta kekayaan (LKHT) yang lebih ketat dan terstruktur. Ini diperlukan agar kita dapat melihat sejauh mana penambahan harta pejabat publik yang signifikan, serta mengkaji peningkatan harta pejabat publik yang proporsional dan rasional, sehingga dengan mudah menjadikan obyek pemeriksaan bagi penyidik untuk dapat dijadikan tindak pidana "penambahan kekayaan tidak sah" atau
JAMIN GINTING DIREKTUR PUSAT STUDI KONSTITUSI DAN ANTI KORUPSI; DOSEN FAKULTAS HUKUM UPH
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 April 2015, di halaman 6 dengan judul "Kriminalisasi "Kekayaan Tak Sah"".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar