Meletusnya Gunung Tambora di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, layak diperingati secara istimewa. Dua kerajaan di Sumbawa musnah akibat letusan Tambora. Abu vulkanik gunung itu terbawa angin hingga ke Eropa dan menyebabkan perubahan musim. Tak mengherankan apabila nama Tambora terkenal ke seluruh dunia.
Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) memanfaatkan peristiwa ini untuk memperkenalkan NTB kepada dunia. Kerja berikut adalah mengembangkan pariwisata agar Tambora membawa berkah berkelanjutan dan berkesinambungan untuk masyarakat NTB.
Meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara dan domestik menjadi salah satu sasaran utama pemerintah. Presiden Joko Widodo menargetkan kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) tahun ini 12 juta orang.
Menurut situs Wonderful Indonesia, jumlah kunjungan wisman ke Indonesia tahun 2014 sebanyak 9.435.411 orang dari target 9,3 juta orang. Jumlah itu tumbuh 7,2 persen dibandingkan dengan periode sama tahun 2013, yakni 8.802.129 orang.
Target pemerintah menambah jumlah 2,5 juta wisman dapat dipahami. Apabila menengok data kunjungan wisatawan di ASEAN, kita tertinggal jauh. Tahun 2013 daya saing Indonesia berada pada peringkat ke-70 dunia, sementara Thailand di peringkat ke-43, Malaysia ke-34, dan Singapura ke-10. Jumlah kunjungan wisman ke Indonesia 8,802 juta orang dengan devisa 9,337 juta dollar AS, sementara wisman Malaysia 25,715 juta orang dengan belanja 21,018 juta dollar AS.
Daerah tujuan wisata Indonesia yang terkenal di dunia sementara ini adalah Bali dan Jakarta. Padahal, ratusan obyek wisata alam dan budaya kita jauh lebih menarik dibandingkan dengan negara tetangga.
Masalah klasik adalah belum tersedianya infrastruktur menuju tujuan wisata dan kesiapan masyarakat memasuki industri jasa pariwisata.
Upaya mengurai hambatan sudah dilakukan, antara lain memberi bebas visa kepada 30 negara dan meningkatkan infrastruktur, seperti memperpanjang landasan bandara.
Di tengah upaya mengejar devisa dari pariwisata, yang tidak boleh diremehkan adalah mengembangkan pariwisata yang inklusif.
Sudah terjadi di banyak tempat, warga setempat tidak mendapat nilai tambah tertinggi dari pariwisata, bahkan hanya menjadi penonton. Mereka kehilangan tanah, ketertinggalan dipertahankan dengan alasan mempertahankan adat, dan seni budaya juga berubah menjadi komoditas.
Pariwisata memang cara termudah meningkatkan devisa dan menciptakan lapangan kerja. Namun, lebih penting lagi memastikan manfaat itu kembali sebesar-besarnya untuk masyarakat setempat.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 April 2015, di halaman 6 dengan judul "Pariwisata yang Inklusif".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar