Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 22 April 2015

Perpres Infrastruktur Kereta Api (ROOS DIATMOKO)

Sebagai tuan rumah Peringatan 60 Tahun Konferensi Asia Afrika, Bandung berbenah menjadi pusat perhatian media penjuru dunia.

Walaupun tema Konferensi Asia Afrika (KAA) adalah penguatan kerja sama negara Selatan-Selatan dalam upaya mempromosikan perdamaian dan kesejahteraan dunia, Wali Kota Bandung juga mengundang CEO bisnis dunia. Memanfaatkan kunjungan pebisnis dunia, Indonesia sekaligus menjadi tuan rumah World Economic Forum (WEF) Asia Timur 2015. Jakarta akan menjadi magnet aspirasi Asia Timur di tengah kelesuan ekonomi.

Tentu saja kerja sama infrastruktur akan jadi topik penting bagi Indonesia. Peristiwa internasional 19-21 April ini juga sebagai lanjutanacara APEC CEO Summit di Beijing tahun lalu. Presiden Joko Widodo berusaha memikat investor melalui presentasinya tentang peluang kerja sama infrastruktur Indonesia. Janji kepada investor antara lain adalah perubahan dan kemudahan dalam bisnis.

Peluang dari perpres

Menjelang kunjungan ke Jepang dan Tiongkok pada 20 Maret lalu, Presiden Jokowi menandatangani Perpres No 38/2015 tentang Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) dalam Penyediaan Infrastruktur. Sayangnya, media tak banyak memublikasikannya. Sebaliknya, media lebih meramaikan Perpres No 39/2015 tentang Fasilitas Uang Muka Mobil yang akhirnya dibatalkan. Perpres No 38/2015 menyangkut perubahan dan kemudahan KPBU semoga lebih cermat dan bermanfaat.

Apabila tugas penjabaran Perpres No 38/2015 dapat dipercepat sampai tenggat 20 April oleh para menteri terkait infrastruktur, para calon investor dapat kembali tanpa tangan hampa. KPBU versi baru tidak hanya menggantikan Perpres No 67/2005 dan perubahannya, lingkupnya pun diperluas tidak hanya untuk infrastruktur dasar. Ia bisa mencakup gabungan dari dua atau lebih jenis untuk infrastruktur ekonomi dan sosial serta terbuka bagi investor asing.

Lagi pula, pemerintah mendorong anggaran infrastruktur naik menjadi Rp 282 triliun dari Rp 190 triliun. Tambahan anggaran berasal dari pengurangan subsidi BBM. Untuk pertama kalinya anggaran infrastruktur di APBN bisa lebih besar daripada subsidi.

Sektor transportasi menjadi urutan pertama kerja sama infrastruktur dalam Perpres No 38/2015. Transportasi adalah tantangan nyata saat penyelenggaraan KAA dan WEF. Jangan sampai salah satu tamu negara menanyakan kemacetan di Jakarta dan Bandung seperti dulu.

Polemik antara pemerintah pusat dan daerah dalam menangani kemacetan di Jabodetabek belum selesai. Janji membentuk Otoritas Transportasi Jakarta belum tertangani. Konsep KPBU sektor transportasi tak kunjung tuntas.

Contoh kerja sama pemerintah-swasta (public private partnership/PPP) adalah ketika kereta api Bandara Soekarno-Hatta Jakarta ditawarkan sejakInfrastructure Summit 2004. Pada awal pemerintahan SBY, semua proyek infrastruktur nasional bernilai Rp 1.000 triliun perlu PPP agar dapat menutup kekurangan dana yang hanya dianggarkan 20 persen melalui APBN.

Penulis bersama Dirut Angkasa Pura II dan Dirut PT KA (Persero) pernah mengunjungi kereta api Bandara KLIA Kuala Lumpur yang dibangun sebagai proyek PPP KAI pada Mei 2002 ketika baru beroperasi. Gagasan konsorsium industri kereta api global dan lokal diusulkan agar kereta api Bandara Soekarno- Hatta-Manggarai bisa dibangun dengan teknologi seperti Express Rail Link KLIA.

Menurut konsultan Tewet Jerman, estimasi nilai proyek sekitar 500 juta euro. Ide konsorsium gugur karena estimasi proyek kereta api bandara menurut Angkasa Pura II tersebut hanya terbatas 100 juta dollar AS. Setelah 10 tahun berlalu, kini nilai proyek kereta api Bandara Soekarno-Hatta-Halim menjadi Rp 24 triliun (sekitar 2,1 juta dollar AS).

Dukungan VGF

Pada PPP sektor transportasi di negara mana pun, setiap penundaan berdampak potensi kerugian akibat kenaikan nilai investasi. Oleh konsultan Bank Dunia, istilahnya pilihan no go atau business as usual. Dengan Perpres No 38/2015, KPBU belum siap karena memerlukan perpres khusus (Kompas, 15 April).

Memang sebelumnya Perpres No 83/2011 menugaskan kepada PT KA (Persero) menyelenggarakan prasarana dan sarana kereta api Bandara Soekarno-Hatta. Dananya tidak bersumber dari APBN, melainkan disiapkan PT KA (Persero). Secara umum bukankah Perpres No 38/2015 mempertegaspenugasan melalui BUMN?

Berdasarkan perpres baru, pengembalian investasi badan usaha pelaksana atas penyediaan infrastruktur bersumber dari pembayaran oleh pengguna dalam bentuk tarif; pembayaran ketersediaan layanan dan atau bentuk lain. Contoh model ketersediaan layanan adalah idebuy service yang diusulkan Wali Kota Surabaya untuk membangun sistem trem dan monorel.

Untuk layanan perkeratapian umum, sulit diharapkan model bisnis mandiri dengan tarif terjangkau. Dukungan pemerintah berbentuk viable gap fund (VGF) tetap diperlukan. Namun, untuk menjaga fiskal, Kementerian Keuangan mensyaratkan agar VGF tidak mendominasi (kurang dari 49 persen?).

Yang kemudian dipersoalkan oleh investor adalah konsistensi dukungan pemerintah. Para investor yang ikut menanggung risiko merasa investasinya bukan sumbangan gratis kepada pemerintah dalam penyediaan pelayanan publik. Sebaliknya, KPBU bukan merupakan privatisasi barang publik. KPBU juga sebaiknya tidak mengaitkannya dengan jenis teknologi. Apabila MRT dibangun dengan dukungan dana pinjaman lunak, APBN dan APBD, apakah proyek LRT di Jakarta, pengumpan MRT di Tangerang Selatan, atau monorel Bandung tidak bisa memperoleh dukungan pemerintah?

Ketika PPP kereta api Bandara Soekarno-Hatta mendapat dukungan pemerintah, PPP KA bandara di kota lain juga berhak. Para investor yang hadir dalam WEF dan KAA akan berharap bahwa Perpres No 38/2015 tidak harus dilaksanakan dengan perpres berikutnya.

ROOS DIATMOKO, ANGGOTA KOMISI TRANSPORTASI DRN 2005-2011

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 April 2015, di halaman 7 dengan judul "Perpres Infrastruktur Kereta Api".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger