Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 07 April 2015

TAJUK RENCANA: Persekot Pembelian Mobil Pejabat (Kompas)

Rencana pemberian uang muka (persekot) pembelian mobil bagi pejabat negara menjadi masalah kontroversial.

Di satu sisi, Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2015 itu sudah diparaf Presiden, di sisi lain masalah efisiensi anggaran negara. Kontroversi semoga tidak menjadi wacana berkepanjangan begitu Presiden Joko Widodo membatalkan Perpres, Senin sore.

Pemberian fasilitas mobil bagi 753 pejabat negara itu sudah berjalan sejak tahun 1999. Akan tetapi, ketika pemerintahan Jokowi-Kalla berusaha dengan sembilan program (Nawacita)-nya, kenaikan 85 persen persekot mobil pejabat dibandingkan dengan nominal tahun lalu itu menjadi kontradiktif. Serupa kontradiksi itu dalam perbenturan dengan butir keempat Nawacita menyangkut rencana remisi koruptor kelas kakap.

Menurut Presiden, pencabutan Perpres dilakukan karena kondisinya tidak tepat, baik dari perekonomian, keadilan, maupun naiknya harga barang, tarif listrik, dan harga BBM. Keadaan tecermin dalam kehidupan masyarakat. Ketika rakyat bergelut dengan kemiskinan, ketika harga barang naik seiring naiknya tarif listrik dan harga BBM, dan ketika rupiah semakin terpuruk, tidak etis pejabat negara tidak solider dengan rakyat.

Secara legal-hukum-peraturan tidak ada yang salah. Permasalahan terletak pada hati nurani pejabat publik. Secara etis, mereka wajib menyatu dengan kondisi rakyatnya. Kita, rakyat, tidak menghendaki pejabat negara tampakkere. Yang kita harapkan adalah representasi etis-moral pejabat negara.

Kemenangan pasangan Jokowi-Kalla dalam Pemilu Presiden 2014 membuktikan "demokrasi mendengarkan kemenangan suara rakyat" dan mengharapkan seluruh kebijakan pemerintahannya merespons suara rakyat. Menghamburkan uang rakyat (APBN) untuk fasilitas berlebihan pejabat publik tentu sebuah contradictio in terminis (saling bertentangan di terminal akhir). Konsekuensi politisnya: kapan pemerintahan petahana memenuhi janjinya sewaktu kampanye?

Keinginan Presiden mengecek kembali dan berlanjut dengan pembatalan Perpres menunjukkan upaya membangun apa yang pernah dijanjikan, yakni praksis pemerintahan yang berpihak kepada rakyat. Pesaing-pesaing politiknya, yang siap menggulirkan isu mis-koordinasi ataupun "tulalit" Presiden dan menterinya, tidak punya peluru menambahkan penilaian: "sudah lamban memutuskan, taruhlah contoh soal Kapolri baru, mencla-mencle lagi".

Mengembalikan marwah kesucian politik bahwa politik itu demi kepentingan rakyat dan menyatu dengan rakyat perlu upaya jatuh-bangun, perlu kebesaran hati, dan kerja keras. Permasalahan kemudian, selain terbangunnya etis-moralitas pejabat publik, perlu juga pembenahan internal praksis pemerintahan. Mustahil Presiden dituntut harus tahu detail semua keputusan yang diparafnya.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 April 2015, di halaman 6 dengan judul "Persekot Pembelian Mobil Pejabat".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger