Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 18 Mei 2015

ANALISIS EKONOMI: Hajat Bea Cukai (AHMAD ERANI YUSTIKA)

Jantung pengatur ekonomi yang terkait fiskal bersumber dari pajak dan bea cukai. Keduanya tidak melulu berbicara soal penerimaan negara, tetapi juga memompa kegiatan ekonomi sesuai arah kebijakan fiskal.

Insentif fiskal kerap disusun pemerintah untuk mendorong investasi agar target pertumbuhan ekonomi atau penciptaan lapangan kerja dapat tercapai. Hal yang sama berlaku dengan bea cukai. Efisiensi logistik, percepatan perdagangan, dan gemuruh ekonomi sebagian berhubungan dengan kinerja bea cukai. Pajak dan bea cukai pada titik ini bukan semata-mata instrumen kebijakan, melainkan juga "infrastruktur" ekonomi yang punya daya pengaruh luas terhadap pembangunan. Problemnya, negara berkembang amat lemah dalam menyusun aturan main (kelembagaan) yang memantik organisasi atau kebijakan menjadi berdaya. Indonesia jelas-jelas bukan pengecualian.

Menyangkut bea cukai ini, cukup banyak persoalan yang terjadi dan tak kunjung dirampungkan. Efisiensi logistik di Indonesia tergolong rapuh dan sebagian terkait dengan kinerja bea cukai. Sistem yang dibangun sampai hari ini belum mampu mempercepat pelayanan sehingga kedodoran menghadapi tekanan pergerakan ekonomi. Studi Bank Dunia (2011), misalnya, dwelling timepada 2011 mencapai 5,2 hari. Namun, pada 2014 laporan dari Bea dan Cukai Tanjung Priok malah meningkat menjadi 5,93 hari. Masalah akut lainnya adalah penyelundupan barang. Tidak pernah ada angka akurat dalam soal ini, tetapi jelas amat besar karena barang-barang selundupan mudah ditemukan di pasaran. Realitas ini tidak hanya menghancurkan kredibilitas institusi, tetapi juga menenggelamkan ekonomi domestik.

Kondisi pelabuhan juga memilukan. Kapal-kapal yang akan bersandar harus berpikir keras karena persoalan klise, yakni jumlah dermaga yang terbatas, keberadaan crane dan alat angkut lainnya, luas lahan terminal, kedalamandraft, dan kualitas aparatur. Soal ini sudah diendus sejak lama, tetapi tak kunjung ada eksekusi kebijakan yang dijalankan agar ada perbaikan. Soal jumlah aparatur (11.644 orang), sebetulnya tak terlalu sedikit dibandingkan dengan negara lain sebab masih lebih banyak ketimbang Singapura, Brunei, Kamboja, Myanmar, Filipina, Australia, Brasil, dan Thailand. Memang jumlah aparatur Indonesia lebih kecil daripada Malaysia, Jerman, Tiongkok, dan India (World Customs Organization, 2015). Jadi, problem kualitas sumber daya manusia lebih menonjol ketimbang jumlah. Hasilnya, ongkos dan waktu yang dibutuhkan menjadi lebih mahal dan lama dibandingkan dengan negara lain.

Celakanya, pada saat yang sama, Indonesia gencar meratifikasi perdagangan bebas atau blok perdagangan dengan negara/kawasan lain. Situasi ini menyebabkan arus transaksi perdagangan makin intensif, meskipun sedikit diperlambat krisis ekonomi global. Pemberlakuan perdagangan bebas dan eksistensi hambatan nontarif menghendaki kesigapan aparatur bea cukai memfasilitasi aneka kerumitan tersebut. Demikian pula praktik illegal transshipment dan penyelundupan dengan modus canggih juga bagian dari kenyataan yang mesti ditangani dengan saksama. Persoalan-persoalan tersebut belum dikelola dengan sistem yang mapan dan implementasi terukur.

Dari mana keruwetan ini mesti diurai? Pertama, struktur organisasi mesti dikaji kembali dan disesuaikan dengan dinamika di lapangan yang terus berubah. Struktur organisasi yang bagus selalu tak berjarak dengan fungsi-fungsi yang diperlukan untuk mengeksekusi tugas. Pembagian kerja tak boleh ada yang tumpang tindih atau ada mandat tertentu yang lowong. Kedua, pemanfaatan sistem informasi dan teknologi yang bisa memotong potensi penyimpangan dan efisiensi pelayanan. Deteksi penyimpangan harus bisa dicegah dari hulu sampai hilir dengan bekal sistem informasi dan teknologi itu. Ketiga, kualitas dan disiplin kerja aparatur mesti dibangun dengan sistem penghargaan dan penalti yang adil. Proses perekrutan, penempatan, dan penilaian kinerja memakai basis yang terang dan terukur sehingga iklim kerja menjadi sehat.

Jika sekarang bea cukai punya hajat memilih pemimpin (Dirjen Bea dan Cukai), tentunya kepemimpinan yang mampu memulihkan dan mengatasi persoalan berat menjadi prioritas. Integritas yang kuat dan kompetensi yang prima menjadi sandaran utama. Aktivitas di bea cukai membuka godaanmoral hazard dengan iming-iming yang nyaris tanpa batas. Tanpa kepemimpinan yang kredibel, seluruh sistem yang dibangun akan guncang. Kompetensi juga tak boleh dibiarkan lenyap karena impresi aparatur akan terbangun apabila dipandu oleh orang yang andal, di samping sanggup membangun sistem yang utuh. Soliditas kebijakan hanya mungkin lahir dari pemimpin yang lurus dengan kecakapan luas. Oleh karena itu, pemerintah tak boleh khilaf memilih figur pemimpin bea cukai karena ongkosnya terlalu mahal.

AHMAD ERANI YUSTIKA

EKONOM UNIVERSITAS BRAWIJAYA; DIREKTUR EKSEKUTIF INDEF

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Mei 2015, di halaman 15 dengan judul "Hajat Bea Cukai".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger